#8 Skit

2.5K 229 17
                                    

"Aku tidak bisa menjadi milikmu." Tegasnya lagi.

Ah, Yoongi kecewa tapi tidak terkejut dengan jawaban Jimin. Ia masih menatap muridnya, kemudian memberikan satu kecupan lembut terakhir di kepala namja manis itu.

"Kembalilah ke kelasmu kalau begitu. Kurasa tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Nde?"

Jimin terhenyak. Ia langsung mengangkat kepalanya lagi, menatap lurus gurunya.

Hanya dengan tatapan mata, Jimin tahu Yoongi terluka. Hatinya ikut mencelos, merasa perih. Dipeluknya tubuh yang lebih tua. Jimin lalu menenggelamkan wajahnya di dada Yoongi.

"Sudahlah, tidak apa." Tepukan lembut mendarat di kepala Jimin. Sang ketua kelas itu pun semakin mengeratkan pelukannya. Sedangkan Yoongi― ia sibuk menata perasaannya. Menata kembali pikiran dan akal sehatnya.

"Mianhae, hyung. Jinjja mianhae.." Cicit Jimin.

Yoongi tersenyum tipis. ''Tidak apa, Jimin. Sungguh."

Jimin kemudian melonggarkan pelukannya― menarik diri. Kepalanya tertunduk, tidak sanggup menatap gurunya.

"Berjanjilah padaku kau akan baik-baik saja. Semangat untuk sekolah dan festivalmu. Jangan terlalu memaksakan diri. Sesekali pergilah bermain dengan teman atau― pacarmu." Yoongi bicara panjang lebar. Tangannya kini mengusap kepala Jimin lembut.

Ia lalu melirik arloji di pergelangan tangannya, "A- sudah waktunya mengajar."

Yoongi buru-buru merapikan buku dan kertas partiturnya. Ia lalu menepuk kepala Jimin sekali lagi sambil mengulas senyuman terbaik― untuk menutupi lukanya.

"Sampai nanti, Park."

Belum sempat Jimin membalas, gurunya sudah pergi meninggalkannya duluan. Dan Jimin hanya bisa melihat punggung gurunya yang menghilang dari balik pintu.

.
.
.
.
.
.
.

Besok festival dimulai. Tapi Jimin tidak bisa tidur. Ia melirik jam di meja belajarnya, sekarang sudah pukul 12 malam. Berkali kali ia berguling di kasurnya, mencari posisi yang nyaman namun tetap saja matanya terbuka lebar.

Jimin menghela napas. Menyerah.

Alasan mengapa ia tidak bisa tidur karena otaknya enggan berhenti memikirkan berbagai hal. Salah satunya tentang Yoongi. Setelah menolaknya dua kali, Jimin malah semakin sering memikirkan gurunya.

Dan entah kenapa, Ia sedikit meragukan Taehyung sekarang. Selama hampir lima bulan ini, namja itu hanya beberapa kali menghubunginya. Bukan berarti jimin tidak pernah mengirim email atau menelpon duluan, Taehyunglah yang tidak pernah membalasnya. Jimin jadi merasa kalau hanya ia saja yang mengharapkan Taehyung.

Sedangkan Yoongi...

Apa yang membuat jimin terus memikirkannya?

Jimin mencoba mengingat-ngingat. Kemudian ia menyadari sesuatu. Gurunya memang menghindarinya saat banyak orang disekitar mereka tapi tetap memperhatikannya diam-diam.

Jimin ingat pernah sakit di uks dan dan saat setengah terbangun, ia melihat Yoongi ada di sampingnya; menatapnya khawatir sambil sesekali mengusap rambutnya. Tapi saat Jimin benar-benar bangun, yang tertinggal hanyalah wangi parfum gurunya yang khas.

Jimin juga pernah menemukan sekotak susu dan sebungkus roti di lokernya saat ia harus pulang terlambat karena mengurus persiapan festival dan belum sempat makan. Dan entah ceroboh atau bagaimana, ada selembar partitur yang tergeletak tidak jauh dari lokernya.

Pipi Jimin perlahan menampakkan rona kemerahan yang samar. Namja itu lalu memeluk gulingnya erat. Salah tingkah.

"Hyung.. Yoongi hyung.." Jimin memanggil nama itu sambil tersenyum. Meski― senyuman itu langsung menghilang saat ia mengingat Taehyung dan juga mengingat saat ia telah menyakiti gurunya.

Save me.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang