Di seluruh alam semesta ini aku paling takut waktu ditanyain soal nama asli. Biasanya, keringat dingin tiba-tiba bercucuran meninggalkan bau tahi ayam di badan--serius itu bau keringatku, bibir gemetaran, dan rambut pun mendadak berdiri kayak habis megang bola bulat berdaya listrik di iklan sebuah merk shampoo terkemuka. Memaparkan secara nyata, cetar membahana, di jambul khatulistiwa, bahwa setiap inci helaian rambutku itu rusak parah. Hii ... sesuatu, ya. Pokoknya nggak banget, deh.
Aku bukannya nggak mensyukuri nama pemberian ayakku, tapi nama ini sangat berat buat kutanggung. Lebih berat dari ratusan makhluk yang harus kuhidupi di kepala, tepatnya di dalam rambutku.
Waktu masih SD aku nggak masalah soal ini. Yah, anak SD tahunya apa, sih? Masih ingusan. Sampai sekarang masih, sih. Bedanya sekarang nggak disedot pake mulut lagi--alias nggak dimakan, tapi dilapin ke baju temen.
Mainannya lompat tali, nama lainnya yeye. Tapi bukan yeyeye lalala yeyeye lalala. Emangnya aku penonton alay?Yang paling penting, anak SD nggak kepo. Mereka nggak, lebih tepatnya belum penasaran sama urusan orang lain. Dan pemahaman tentang nama latin serta tetek-bengeknya belum nangkring ke buku mapel mereka.
Ya, semua ini berhubungan dengan nama latin. Ketenanganku direnggut saat duduk di bangku SMP. Betapa kejam!
Tepatnya semua berubah setelah negara api menyerang. Eh, maksudnya semua berubah setelah Pak Irfan, guru biologiku, tertawa terpingkal-pingkal sewaktu mengabsen namaku.
Jujur aja, hal serupa juga pernah terjadi waktu SD, tapi seperti yang aku bilang tadi, anak SD nggak kepo. Waktu guru ketawa, paling-paling aku nyengir kuda sembari jungkir balik di atas meja. Hayati masih polos!
Awalnya aku udah curiga waktu kakak kelas yang nge-MOS sering mesem-mesem sembari lihat aku. Tapi kukira mereka cuma kepincut dengan kecantikan cetarku.
Nah, sangat terpatri diingatanku tentang hari itu. Hari yang membuatku phobia sama nama sendiri.
Waktu itu saat Pak Irfan memindai absen, tiada angin tiada hujan ia tiba-tiba saja memegangi perutnya yang buncit sambil sesekali menggebrak meja. Ia pun bertanya terputus-putus, seperti anak anak kodok yang baru belajar terbang. "Siapa. Yang. Namanya." beliau terkikik lagi tak sanggup melanjutkan.
Perilaku beliau itu membuat suasana kelas jadi absurd. Ada yang bengong kayak aku, ada yang ikutan ketawa meski nggak tahu apa yang lucu--mungkin mereka mabok micin, bahkan ada pula yang sedang melukis indah di atas meja, menggunakan air suci dari mulutnya.
"Manihot Utilisima?" sambung Pak Irfan setelah menenangkan diri.
"Saya, Pak," jawabku gugup seraya mengangkat tangan ragu.
"Kamu waktu lahir langsung kentut, ya, Nak?" tuduh Pak Irfan. Bagaimana mungkin anak yang baru lahir dan masih suci harus menerima tuduhan sekeji itu. Ckckck. Stop kekerasan pada perempuan. Stop kekerasan pada anak kita! Stop ketidakadilan tuk mereka. Menuju indonesia cerdas. Berasa lagi penyuluhan.
"Maksudnya, Pak?" tanyaku tak mengerti.
"Masa namamu artinya ubi jalar, Nak. Orang yang suka makan ubi suka sering kentut, 'kan?" Seisi kelas tertawa. Beberapa anak laki-laki yang tidak kukenal menunjuk-nunjuk ke arahku seraya memasang ekspresi yang benar-benar harus ditampol. Aku mulai merasakan aura hitam seperti waktu SD, ketika mereka SKSD, seolah teman seperjuangan ayakku dengan menyebut-nyebut nama bapakku di mana-mana, plus dengan improvisasi. Kreatif, tapi membuatku sensitif.
"Pasti orang tuamu punya alasan kenapa namamu unik begitu, Nak." ucap Pak Irfan lagi, sok bijak. "Coba tanya bapakmu. kalau tebakan jitu bapak, ya, itu. Kamu waktu lahir bukannya nangis malah kentut-kentut."
Saat itu pula aku merasa ternistakan.
"Bapak nggak bisa bayangin gimana situasi waktu persalinanmu, Nak." Pak Irfan kembali ke dunia gelaknya.
Anak-anak lain malah makin menjadi-jadi. Mereka mulai mengeluarkan bunyi-bunyi aneh dari mulutnya yang kuduga berhubungan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Pembicaraan yang sebagian besar menyebutkan kata 'kentut' itu sungguh membuatku risih. Memangnya ubi jalar hanya punya koneksi dengan kentut? Ke mana pembahasan tentang karbohidratnya? Kelebihannya yang bisa dibuat jadi apa saja, seperti mi, getuk, bolu, dan keturunannya, kok, disudutkan? Duh, kan jadi lapar. Selain itu, setelah aku searching di google, bukan cuma ubi jalar, kok, yang bisa buat kentut.
Saat itu di mataku Pak Irfan seperti Jin Ifrit yang suka menjerumuskan manusia, tapi belakangan aku sadar Pak Irfan nggak seburuk itu, kok. Beliau cuma kurang piknik aja.
Ya, tapi kenangan buruk itu keburu terekam di alam bawah sadarku. Jadi, ya, gini. Semacam trauma ringan gitu, deh.
Satu lagi, rese nya temen-temenku malah ada yang manggil aku 'cewek kentut'. Nggak ngerti banget perasaan orang, deh. Enggak habis pikir barbie.Dasar nggak peka. Sono lu gabung sama si doi yang nggak iritabilita, alias nggak peka terhadap rangsangan.
Bayangin aja! Masa aku dipanggil 'tut?'.
Duh, kalo gini daku bisa stres. Jadi mau mulung 'kan?! Hashtag Hobi bermanfaat.
***
TBC 08-10-2017
Ngomongin soal tut, aku jadi ingat kartun Jepang yang anaknya botak plus jahil. Namanya tut tut.
Eh, benar nggak, sih, Jepang? Soalnya ada kemungkinan Cina.
Lagunya, menurut yang ditangkap telingaku, kira-kira gini ... tut tut wang chang fong mang ai tang fong mang... tut tutAh, udah, deh. Salah-salah aku kena tampol.
Jika suka part ini beri vote dan comment, ya. Seperti kata Rangga, 'pecahkan saja gelas itu biar ramai'. Komen aja di bawah biar ramai. Hohoho
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutu Cinta (Manihot Utilisima)
HumorAkibat rutinitas menonton sinetron romantis saat SD, cewek berkutu yang satu ini menemukan cinta pertamanya ketika ingus dan iler teman sebayanya masih belepotan. Ia mendapat berkah nama yang sama dengan makanan rakyat di zaman penjajahan, Manihot...