Aku memerhatikan keceriaan teman-temanku dengan perasaan jengkel yang teramat sangat. Ketawa-ketiwi sementara aku terduduk lesu dengan panasnya taburan saos di lutut. Mengerti 'kan maksudku? lukanya itu, loh, panas, kayak ada rasa terbakar-terbakarnya gitu.
Awalnya, sih, seperti itu, lama-lama aku malah menikmati pemandangannya. Tapi bukan menikmati kebahagiaan mereka, melainkan drama kecil yang mereka ciptakan.
"Ah, malaslah aku. Masa kalian terus yang main," ucap Tina yang semenjak zaman pra-kambrium tak kunjung mendapat giliran main.
"Ya, iyalah," ucap Sekar. "kami belum mati, kok, malah kau mau main?" cetusnya.
"Kalo itu, ya, aku tahu. Kalo kau mati, dari tadi aku main sama siapa pulak?" ucap Tina sewot.
"Kan, maksudku mainnya, Tina. Kami belum kalah." Murti ikutan nimbrung.
Tina membalikkan wajah kesal. Bibirnya bergerak-gerak tak menentu. Sepertinya Tina lagi mengumpat sembari menghapal nama-nama makhluk di kebun binatang.
"Kalian egois!" tuduhnya.
Si Tina kenapa, sih? Lupa minum babaygon dianya?
"Kan dari zaman penjajahan aturannya kayak gitu, Tin. Lagipula, kok, malah kami yang egois?! Seharusnya kan kau!" Sekar tak terima.
"Kok malah aku?"
"Ya, iyalah. Mainmu nggak fair, lagi jaga, kok, minta main."
Tina yang merasa nggak terima, melemparkan yeye di tangannya ke tanah. Ia berjalan ke arahku lalu duduk di akar pohon lainnya.
Omong-omong akar yang kami duduki ini adalah akar pohon cempedak yang usianya jauh lebih tua dari kami. Sungguh, tidak sopan, padahal ibu guru selalu mengingatkan kami untuk menghormati sesepuh. Setiap kemari aku selalu ingin mencium daunnya sebagaimana yang kulakukan sama ayak dan mamakku.
"Apa kau *tengok-tengok?" tanyanya padaku.
(*lihat-lihat)
"Kenapa rupanya?"
"Jangan tengok-tengok aku!"
Cih, Ya udah. Emangnya situ cantik gela mangkannya nggak boleh diliatin?
Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Di depanku tampak Sekar, Murti, dan Lena berbicara sesuatu sembari memandang tajam ke arah Tina. Isinya? Tentu saja ungkapan kekesalan.
Tapi, ya, namanya juga jiwa muda. Hari inj jambak-jambakkan, besok main anak-anakkan. Hari ini tendang-tendangan, habis itu asik berdendang. Intinya, nggak ada istilah marah lama-lama. Nggak kayak ruwetnya pertemanan gara-gara suka sama doi yang sama. Hiks.
Entah kesambet siluman apa, Tina malah bersuudzon padaku.
"Ini semua gara-gara kau, Man."
"Hah?"
Aku memasang telingaku lekat-lekat. Barusan aku dengar ia manggil aku apa? Man? Emangnya aku Eman seorang Paman yang merangkap jadi Preman di jalan Sudirman yang hobinya main di kubangan taman? Jika benar, aku paham mode ini. Mode yang selalu digunakan teman-temanku kalo mau ngajak aku *betumbuk.
(*berkelahi)
"Ish," desisnya. "kau sengaja kan, Man?" tuduhnya.
"Apanya?" tanyaku.
"Kau sengaja jatuh kan karena kau tahu hampir gagal waktu main tadi. Supaya nggak jaga."
"Enggak, ah," sanggahku tanpa berniat memberi penjelasan.
Tina tiba-tiba saja berdiri, ia meninju udara dengan membabi buta."Ini gara-gara kau. Seharusnya kau jaga tadi. Gara-gara kau aku nggak dapat giliran main, padahal aku udah jaga lama. Dasar kau menyebalkan." Mendadak di kepala Tina muncul tanduk rusa--menurut penglihatanku. Telunjuknya teracung ke wajahku dengan pandangan menusuk.
Ciyus, nih, anak keracunan tempe bongkrek.
Melihat situasi Tina, aku jadi teringat salah satu adegan di sinetron yang biasa kutonton sepulang sekolah. Aku pun mempraktekkan adegan lain untuk menghadapi situasi seperti ini.
"Aku juga nggak mau kayak gini, Tin. Mending aku jaga seumur hidup daripada luka kayak gini," ucapku lesu, berharap Tina akan luluh. "sakit." aku mengeluarkan air mata siluman buaya. Kenapa siluman? Karena di TV siluman itu bisa berubah jadi manusia. Jadi setengah manusia, setengah lagi buaya. Sedangkan situasiku sekarang setengah pura-pura, setengah lagi emang sakit beneran. Hashtag teori ubi jalar.
"Betul, ya. Jaga seumur hidup kau, ya." Tina balik menyerangku.
"Tampar aku, Mak. Tampar. Aku udah bosan hidup seperti ini terus," dramaku berlanjut.
"Apa, sih?" Tina bingung.
"Sungguh malang nasibku... apa lanjutannya, ya? Ah lanjutlah. Ibu tiri hanya sayang pada ayahku saja. Hiks hiks."
"Pokoknya kau jaga seumur hidup."
"Lah... Itu kan *kecek-keceknya, Tina. Heper Ebola, kata kakakku."
(*bercanda)
"Nggak, ada. Udah kupegang kata-katamu,"
Aku manaikkan alis. "Gimana caranya? Kata-kata kan nggak berwujud,"
"Yang sibuklah kau. Suka-sukaku lah."
"Suka makan bangke," sambungku kesal.
"Nggak, ya."
"Nggak salah lagi."
"Aku bilang enggak."
"Siapa?"
"Aku,"
"Yang nanya."
Tina mendecak kesal. Entah sejak kapan, yang pasti kini matanya berkaca-kaca.
Hebat! Matanya menghasilkan kaca. Apakah ini acara pencarian bakat? Di mana kameranya? Di mana?
Bibir Tina berkedut menahan tangis.
"Kubilangkan kau sama mamakku," ancamnya.
"Mau bilang apa?" aku menantang.
"Kubilangkan kau jahatin aku,"
"Masa?"
"Iya. Awaslah kau nanti dimar--"
"Bodo!" potongku.
Tangis Tina akhirnya pecah. Ia berguling-guling di atas tanah. Debu dan dedaunan yang jatuh menempel di baju tidurnya.
"Kalo mau nge-pel jangan di tanah, Tin," ucapku polos. "mending di rumahku aja. Ada banyak tahi ayam di teras."
Tina mengeraskan frekuensi tangisnya. Jelas sekali sengaja heper ebola.
Perhatian sontak tertuju ke arah kami. Bahkan anak cowok yang tadinya asik menganiaya bola--menendang, memijak, mengapitnya di ketek itu kekerasan. Loh? Kini memandang kami heran.
"Ada apa ini?" tanya seorang cowok menghampiri kami.
Mati aku!
***
TBC 13-10-2017Alloha. Hola. Konnichiwa. Anyeonghasseo. Guten morgan? Halo...
Terima kasih sudah berkunjung ^^
Jika suka beri jejak, ya. Lope lope di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutu Cinta (Manihot Utilisima)
HumorAkibat rutinitas menonton sinetron romantis saat SD, cewek berkutu yang satu ini menemukan cinta pertamanya ketika ingus dan iler teman sebayanya masih belepotan. Ia mendapat berkah nama yang sama dengan makanan rakyat di zaman penjajahan, Manihot...