Cowok di depan kami manggut-manggut mendengar penjelasan palsu si Tina. Ia penjelasan palsu, bukan alamat palsu, emangnya situ mau di PHP-in kayak Ayu Ting-Ting? Membuat aku frustasi dibuatnya. Syalalala.
Cowok itu kemudian memandangku seolah sedang menangkap basah maling sandal di warnet.
Tahu aja dia itu emang aku.
"Apa kau tengok-tengok?" entah kenapa kalimat Tina tadi yang tercetus dari mulutku, padahal jelas sekali pertanyaanku barusan justru membuat masalah semakin ruwet. Seruwet rambutku ini.
Tapi kan aku juga bisa marah. Aku nggak suka diliatin kayak gitu, aku juga nggak suka difitnah, tapi aku lebih nggak suka sama orang yang sok tahu kayak cowok ini. Ia pikir setelah melewati Samudera Atlantik, ia bisa langsung ke Asia gitu? Kamu harus melewati Tanjung Harapan dulu keles, Bang. Sama kayak cinta, jangan harap bisa langsung bahagia, kamu harus melewati berbagai macam badai dan permasalahan, barulah kamu bisa menemukan sebongkah berlian, eh, kebahagiaan. Eaak.
Intinya jangan judge orang dulu, sebelum dengerin penjelasan dari kedua belah pihak!
"Apa matamu liat mataku matamu. Nggak pernah matamu liat mataku, ya, matamu? Kalo nggak pernah matamu liat mataku matamu jangan liat mataku matamu." aku mengeluarkan jurus andalan anak cabe rawit.
"Kenapa kau pukul dia?" tanya cowok itu menjengkelkan.
"Nggak ada kupukul dia ya matamu," jawabku sewot.
"Buktinya, dia nangis, tuh,"
"Apa hubungannya matamu?"
"Ya, kalo orang nangis berarti karena diapa-apain."
"Matamu itulah diapa-apain matamu."
Cowok itu tertegun. Tanpa sadar ia menggerak-gerakkan bola matanya, memastikan kalo emang nggak ada yang salah dengan matanya.
Aku mendengus sebal kemudian berlalu meninggalkan cowok itu dan si Tina. Aku berjalan dengan kaki sebelah kanan menggantung di udara, eh, lebih tepatnya lompat-lompat kayak pocong. Awalnya aku santai-santai aja. Nggak ada istilah kesusahan atau kepala berkunang-kunang seperti ngerjain soal Matematika SBMPTN--soalnya aku kan atlet yeye putar--tapi karena disorakin anak cowok yang lain, aku gagal fokus.
Ya, mending kalo mereka bersorak menyemangati, ini malah ngata-ngatain.
"Generasi micin, nih. Rada-rada sengkrak," celetuk seorang cowok yang memakai baju barca. Ia lalu memperagakan cara jalanku dengan versi alay kuadrat.
"Iih, Si Ima rakus amat. Makan bakso saosnya sampek belepotan di kaki," yang lain menimpali.
"Di lutut keles," ralat cowok yang sedang bermain bola single tanpa mengalihkan pandangan ke arahku.
"Dek, uangnya jatuh,"
Aku menoleh. Bukan menoleh karena tertipu tipuan picisan seperti itu, tapi penasaran sama orang yang barusan ngomong.
OMG, demi bumi dan segala emasnya. Itu kan si Okta. Ciyus aku nggak tahu anak yang satu berapa lama bermeditasi di kandungan emaknya mangkannya rada-rada gitu. Yang jelas, nih, anak baru 5 tahun dan sekarang ia panggil aku 'adek'? Helow kamseupay iu iu, waktu itu aku udah 9 tahun.
"Yah, si adek ketipu," serunya sembari menunjukku.
Aku memiringkan kepala sembari memeyotkan bibir. Setelah itu berlalu menuju semak-semak.
***
"Duh, yang gatal lah kepalaku ini."
Aku menggaruk-garuk kepalaku beringas. Habisnya gatal nggak ketulungan. Aku nggak ngerti kenapa kutu-kutu di kepalaku sekarang jadi begitu pemarah. Masa cuma gara-gara rambutku tertiup angin mereka melakukan aksi pembantaian massal. Ya, massal, dengan cara menggigit kulit kepalaku rame-rame.
Sempat, sih, aku kepikiran buat beli obat kutu, tapi garpu tanah tampaknya lebih menggoda.Kutepuk-tepuk kepalaku beberapa kali.
"Akh!" erangku.
Tepat setelah itu, suara rendah, namun merdu masuk ke telingaku. Membuatku sempat salah sangka sedang berada di musim ceri.
"Hei, jangan berisik!" itu berisi peringatan, namun terdengar seperti percakapan manis antara pasangan. Yuhuu!
Seorang cowok menyembulkan setengah kepalanya dari balik semak-semak tak jauh dariku. "Nanti kita ketahuan," lanjutnya
Ebujugile. Gantengnya abang ini.
Cowok ganteng itu keluar dari tempat persembunyiannya sembari menempelkan telunjuknya di bibir. Mata abang itu coklat gelap, kulitnya eksotis, badannya tinggi dan ada lesung yang dalam di kedua pipinya. Aduh, Mak, bisa-bisa aku epilepsi.
"Nanti kita ketahuan," ucapnya lagi setelah berada di sampingku. Ia merapikan rambut hitamnya yang terkena belaian angin jail seraya memandang was-was ke sekeliling. Bak hero yang sedang menyelamatkan heroine-nya dari kepungan musuh-musuh durjana.
Oh, tidak! Jantungku dag-dig-dug tak menentu. Nafasku memburu, padahal aku nggak bawa panah. Aku sontak memalingkan wajah. Tubuhku mulai panas. Please, deh. Aku nggak lagi pemanasan ini!
"Kamu ikut main *roda-rodi juga, 'kan?" tanyanya.
(*petak umpet)
Aku berusaha menjawab, tapi diriku yang masih dalam salting mode hanya mengeluarkan bunyi seperti jelangkung.
"Ngg... kh...ngk..."
Si abang mengernyitkan dahi. Ia menatapku lama sebelum menempelkan telapak tangannya ke dahiku. Bisa ditebaklah si abang kenapa begitu.
Sontak kutu-kutu di kepalaku menggeliat, suka 'lumbung padi'nya menemukan belahan hati. Mereka menggigit kulit kepalaku kemudian mengibaskan sayap kecilnya, mereka membawaku terbang ke langit kemudian menjatuhkanku seperti seonggok sampah waktu darah di kepalaku habis. Oke, lupakan soal itu.
Yang pasti kegiatan menggeliat kutu-kutu ini kian menjadi-jadi. Kesenangan mereka justru menghancurkanku. Aku sungguh bernafsu untuk menggaruk kepala, tapi aku malu. Ya, kali aku garuk-garuk kepala di depan si abang.
Tapi aku malu.
Ku malu-malu tapi mau
Sungguh-sungguh aku malu
Merah-merah kulit kepalaku
Dududu ..."Sakit, ya?" tanyanya.
Duh, kepalaku makin gatal.
"Mau pulang?" aku menggeleng sembari berpura-pura menyisir rambut dengan jari, padahal kesempatan nge-garuk pakai kuku.
Mak, siramkan air panas kepala awak. Gataaaaaal kalilah...
"Mau aku antar?"
Dhuar!
Rudal telah meledak, menghancurkan segala yang ada di sekitarnya.
Akh!!!! Aku nggak tahan.
Kutampar pipi si abang, ketika kepalanya terpaksa menoleh akibat tamparan itu--seperti di TV, aku langsung ngacir. Untungnya aku enggak bilang "kamu jahat!". Ya iyalah. Bisa salah paham nanti.
Aku menggaruk-garuk kepalaku beringas selama di perjalanan.Syukurlah, waktu si abang kutampar hingga menoleh, ia jadi nggak sempat lihat aku garuk-garuk kepala.
Hu... Selamat."Babay babay abang ganteng," ucapku sembari menggesek-gesekkan kepala ke batang pohon karet.
***
TBC 14-10-2017
Yuhuuuu... kutu itu telah mempertemukan dua insan dengan cara yang ajaib. Hehe
Kalau kamu mau dipertemukan dengan cintamu juga, tekan aja votes and comments, nanti si kutu bakal cariin. Wkwkk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutu Cinta (Manihot Utilisima)
HumorAkibat rutinitas menonton sinetron romantis saat SD, cewek berkutu yang satu ini menemukan cinta pertamanya ketika ingus dan iler teman sebayanya masih belepotan. Ia mendapat berkah nama yang sama dengan makanan rakyat di zaman penjajahan, Manihot...