PART 10

116 37 6
                                    

"Gw jadi seorang ibu?" Aku terbengong setelah kepergian Papa dan anaknya, aku teringat bagaimana aku dengan santainya memperkenalkan diriku sendiri sebagai Mama Tiara dan Raffa... anak kecil itu menganggap Raffa sebagai Ayah Raffa. Oh My God aku jadi tidak terbayang bagaimana kedepannya nanti. Tapi, anak itu sangat menggemaskan ya lord!! Dan hey Papanya masih terlihat muda dan tampan.

"Menarik." Sambung Raffa lalu merangkulku.

"Raffa besar dan Raffa kecil." Ucapku sambil terkekeh. Ini memang menarik. Apalagi besok kami akan kembali bertemu diMall.

Aku jadi tidak sabar, untuk menantinya.

***

Tidak terasa waktu sudah pukul 4 sore, rasanya baru beberapa menit yang lalu aku kemari dan bermain. Raffa masih dibelakangku mengayun-ayunkan ayunan yang kududuki sekarang ini.

Kruk...kruk...

Wajahku memerah malu sambil cengengesan, tangan Raffa yang tadinya mengayun tiba-tiba berhenti ia berjalan menuju kehadapanku sambil menatapku kesal.

"Kalau lapar itu BILANG jangan DIAM," ucapnya sambil menekan kata bilang dan diam. "Gw kan juga lapar..." sambungnya pelan menoleh kearah lain sambil mengelus perutnya.

Aku memutar bola mataku kesal kupikir ia cemas, pake segala bilang jangan diam dianya padahal diam juga. Kalau sama-sama diamkan dua-duanya sama-sama salah.

"Yaudah cari makan yuk! Gw laper banget, daritadi lo ngasih ice cream sama ciki doang." Aku mendengus sambil menarik lengannya berjalan mengikutiku.

"Oh ya-ya, gw lupa lo doyan makan. Andai lo normal mungkin tubuh lo gak sekrempeng ini." Aku berhenti berjalan mendengar ucapannya sambil melotot.

"APA! Maksud lo gw gak NORMAL, HAH???" Aku sedikit meninggikan oktav suaraku sambil memegang lengannya erat mencegah kali saja ia berniat kabur.

Raffa terlihat gelabakan mencari alasan sambil menatap kesana kemari, "bukan---, bukan gitu Ra, maksud gw lo normal karna doyan makan. Kalau gak doyan makan kan gak normal? Telinga lo tadi mungkin salah dengar."

APA!

"Jadi maksud lo telinga gw tuli?" Wajahku memerah tapi kali ini bukan karna malu namun kesal. Aku segera menaiki tubuhnya menjabak rambutnya asal sambil memukuli tubuhnya, tidak peduli dengan suaranya yang mengaduh kesakitan.

"Mulut lo tuh yang nggak normal!!!" Ucapku setelah puas menjambak dan memukulnya, lalu mataku seketika melotot melihat sekitar taman ini beberapa orang menatapku ngeri dan sebagiannya lagi menatap Raffa kasihan. Aku menutup mataku menahan rasa malu, karena kebodohanku aku mempermalukan diriku sendiri didepan umum.

"Makanya kalau mau ngejambak itu cocoknya dikamar, sayang." Aku membuka mataku, aku bergidik merinding seketika mendengar bisikan Raffa, dengan santai ia merangkulku membawaku pergi dari tempat memalukan itu seperti seakan tidak terjadi apa-apa.

Aku masih bengong mencoba mencerna maksud ucapannya, hingga beberapa detik kemudian aku langsung mencubit perutnya setelah aku mengerti ucapannya. "Dasar mesum!" Aku tidak peduli dengan kegaduhannya dan segera berjalan pergi mendahuluinya.

"Tiaraaaa.... tungguin gw!"

Bodoamat!

Aku berjalan sambil menghentakkan kakiku kesal, teriak-teriakkan Raffa yang memanggilku tidak kupedulikan dan tetap terus berjalan apalagi perut yang memberontak minta diisi sangat mengganggu membuatku tambah sensitif.

Berjalan dengan asal membawa kakiku ketempat gerobak tukang bakso, ternyata kakiku ini sangat peka dengan makanan enak. Setelah duduk dikursi, tidak lama kemudian  kursi sebelahku tertarik sedikit kebelakang oleh seseorang, lalu ia mendudukkan bokongnya disana dengan ngos-ngosan, dari bau parfumnya dapat kutebak itu Raffa.

"Dimana-mana orang lapar itu tenaganya melemah, kenapa lo malah tambah kuat sih, Ra? Udah ngejambak gw, nyubit gw masih aja bisa jalan cepet. Ajaib!" Aku hanya mendengarkan ocehannya tanpa berniat menjawab, itu memang benar. Dan rasa lapar membuat mulutku malas untuk bicara.

***

Aku menatap penampilanku dicermin berkali-kali, aku tidak ingin baju yang kupakai saat ini kembali membuatnya terganggu. Setelah merasa yakin dan tidak ragu-ragu aku mengambil tas slinbag lalu memasang keleher sambil melihat jam yang baru menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit, beberapa menit lagi Raffa sampai.

Aku menuruni tangga, sesampai di ruang tamu aku mendapati kak Ana yang sedang menyusui anaknya. Aku baru sadar selama dua hari ini aku belum bermain dengan keponakan tersayangku itu.

"Halo, Angel!" Aku mendekati kakak ipar sambil menyapa gadis kecil yang tertidur dalam gendongannya.

"Halo, tante Tiara." Aku terkekeh kak Ana menjawab sambil menggerakkan tangan Angel melambai-lambai.
Gadis kecilku ini baru berumur 1 tahun 1 bulan.

Setelah berbincang-bincang banyak dengan kak Ana, aku segera keluar rumah karena Raffa sudah menelponku. Didepan rumah aku mendapati Raffa tengah berbincang-bincang dengan Mama.

"Cieee... yang mau malam mingguan." Goda Mama sambil menatapku jahil.

"Apaan sih Ma." Aku tersenyum tipis sambil menunduk malu. "Udah yah Ma, aku mau berangkat dulu." Sambungku sambil menyalami tangan Mama.

"Jagain anak Mama yah, Raf!" Ucap Mama setelah Raffa menyalami tangan Mama.

"Pasti Ma."

"Pulangnya jangan malem-malem." Peringat Mama sebelum kami melangkah keluar.

***

Malam ini aku dan Raffa kembali mengunjungi festival malam, karena festival akan ditutup malam ini dan yang pastinya difestival itu akan ada penerbangan lampion harapan yang sangat aku tunggu-tunggu.

Setelah memarkir motor, aku dan Raffa menghampiri penjual permen kapas sambil berbincang-bincang menunggu waktu lampion harapan diterbangkan.

Dalam keramain ini, aku selalu menatapnya tanpa canggung. Aku mencoba mencari tahu sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik bahkan hatiku telah penuh oleh sosok dirinya. Namun, sekuat apapun aku mencoba aku tetap tidak tahu, dalam fisik ia memiliki tubuh yang bagus dan wajah ganteng tapi jika dipikirkan lagi ada yang lebih bagus dan ganteng dari ia tapi kenapa aku hanya terpikat dengannya?

Perhatian? Bahkan Rio juga perhatian padaku.

Lalu apa?

Bahkan aku tidak bisa marah lama-lama dengannya, contohnya sore tadi aku kesal dengannya lalu dengan gampangnya ia mengajakku ke festival malam dan dengan senangnya aku menerima, melupakan kekesalanku padanya.

Selama belasan tahun bersamanya kenapa hanya aku yang memiliki perasaan ini? Bolehkah aku menentang, bahwa ini tidak adil untukku? Kemana arti bahwa cinta itu indah?

"Tiara!" Aku mengerjapkan mataku tersadar dari alam hayalan ketika Raffa memanggil sambil menyenggol lenganku.

"Mikiran apa lo, heh?" Tanyanya sambil menyerngit membuat kerutan didahinya.

"Kepo!" Aku menunjuk dahinya dengan jari telunjukku sambil mengusap berjalan kekanan kekiri menunggu kerutan itu menghilang.

Raffa menangkap tanganku yang berada didahinya lalu ia turunkan mengubahnya hingga jari jemariku bertautan dengan jarinya menjadi sebuah genggaman erat, yang membuat hatiku selalu tenang.

"Yuk, bentar lagi lampion diterbangin. Lo pasti mau bikin harapankan?" Aku tersenyum tipis sambil mengangguk mengikutinya berdiri lalu melangkah bersama-sama menuju pinggir sungai dimana disitu akan ada penerbangan lampion.

Tolong buat waktu berjalan lebih lama lagi, aku ingin tanganku tetap berada dalam genggamannya dan terus melangkah bersamaku. Bolehkah?

***

Yg ini gaje😂

Kamis, 12 Oktober 2017

MUTIARA (COMPLETE!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang