PART 14

102 20 7
                                    

"Pokoknya besok gw gak mau liat mata lo sembab, ngerti?"

"Iya, gw ngerti."

Rio tersenyum hangat lalu membelai rambutku. Hhhh kenapa aku tidak jatuh cinta pada Rio saja?

"Gw pulang dulu." Pamitnya.

Aku refleks menghentikan aksinya ketika Rio akan membuka pintu mobilnya.

"Terimakasih untuk hari ini." Ucapku tulus.

"Itu udah tugas gw sebagai sahabat lo." Jawab Rio lagi-lagi dengan senyum, aku baru menyadari ternyata senyum Rio itu manis.

Aku mengangguk lalu mempersilahkannya untuk kembali membuka pintu mobil, ketika ia sudah duduk dan menyalakan mesin, aku melambaikan tanganku. "Hati-hati!"

Sebelum menggas mobilnya aku dapat melihat ia mengangguk kemudian tersenyum hingga akhirnya mobil berjalan pergi menyisakan aku berdiri sendiri.

Aku menghela napasku lalu berbalik dan mulai berjalan masuk kedalam pekarangan rumahku. Namun ketika aku menginjakkan teras, aku dikejutkan dengan adanya Raffa yang tengah duduk di kursi teras rumahku. Aku menengok kebelakang dan melihat sebuah motor terparkir, bahkan aku baru melihatnya.

Aku menekan dadaku yang ternyata masih berdetak dengan tidak karuan hanya karena melihatnya. Terluka seperti apapun hati ini, bahkan ia masih memilihmu Raf.

Raffa menunduk dalam diam masih belum menyadari kehadiranku, ingin menyapa pun mulutku rasanya seperti terkunci. Jadi, aku hanya diam sambil menatap gerak-geriknya.

Kulihat Raffa tengah bergerak dengan gelisah entah karena apa, beberapa kali ia menghembuskan napasnya kasar lalu mengacak-acak rambutnya hingga berantakan sampai tiba-tiba ia mendongak, mataku dengan mata teduhnya langsung beradu pandang.

Dalam tatapan itu, aku melihat matanya yang menyiratkan sebuah kesedihan yang tidak aku mengerti, disini akulah yang paling terluka kenapa matanya malah menuduhku seolah-olah aku yang menyakitinya. Oh, ada apa dengan pikiranku ini?

"Akhirnya lo pulang juga." Raffa yang pertama bicara dan ia juga yang memutuskan kontak mata dengan menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

"Sejak kapan lo disini?" Tanyaku heran lalu melangkah mendekatinya.

"Sejak 6 jam yang lalu." Balasnya lalu bangkit dari kursi, hingga tubuhnya benar-benar dekat di hadapanku.

Aku terkejut, 6 jam yang lalu? Berarti ia menungguku dari jam 3 sore hingga sekarang jam 9 malam? Sepenting itukah? Aku terkekeh sendiri dengan pemikiranku, tidak mungkinkan seseorang yang baru saja jadian akan menunggu cewek lain bahkan selama itu.

"Jadi ada hal penting apa yang mau lo omongin sampe-sampe rela nungguin gw selama itu?" Aku bertanya mencoba percaya dengan jawabannya tadi. Dan aku juga sedang mencoba mengendalikan suaraku agar tidak terdengar lemah atau sinis sekalipun.

Lagipula aku harus terlihat senang dan semangat agar ia tahu bahwa aku bisa bahagia walau tanpanya.

"Oh ya... " Raffa tersenyum tipis lalu berbalik mengambil 2 buah kantung belanjaan yang kutahu adalah kantung pakaian yang ia beli di Mall siang tadi.

"Ini buat lo." Raffa menjulurkan tangannya, agar aku menyambut kantung itu.

"Kenapa jadi buat gw? Sinta gak suka pemberian lo?" Tanyaku sambil menyambut kantung tersebut. Rezeki sayang ditolak. Hehe.

"Bukan, tapi itu emang buat lo."

Aku mengangguk mengerti sambil mengucap terima kasih. "Mau masuk dulu, Raf?" Tanyaku sambil menunjuk pintu yang masih tertutup.

"Gak deh, lo baru pulang pasti cape. Btw, lo dari mana aja?" Tanya Raffa sambil melihat bajuku yang ku kenakan, mungkin ia bingung melihat aku memakai baju cowok. Baju yang kukenakan tadi basah karena main air pantai sehingga aku harus meminjam baju Rio sebagai gantinya daripada aku mati karena kedinginan.

"Oh, gw abis dari pantai." Aku berucap sambil berjalan menuju kursi, lama-lama berdiri membuat kakiku sedikit pegal.

"Pantai? Astaga, Ra! Lo mau bikin gw mati berdiri! Gimana kalau lo kenapa-napa disaat gw gak ad----"

"Buktinya sekarang gw ada di hadapan lo dengan sehat walafiat tanpa luka atau lecet sekalipun, Raf." Potongku cepat, aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja tanpanya.

Raffa menghela napasnya dengan kasar lalu menatapku dengan pandangan melunak. "Oke, sekarang lo masuk istirahat gih." Ucapnya lalu mengusap pucuk kepalaku.

Aku mengangguk lalu bangkit dari kursi, ketika tanganku hendak menggapai pintu aku teringat sesuatu lalu berbalik menatap Raffa. "Selamat dan semoga bahagia. Hati-hati jangan ngebut!" Aku mengucapkan dengan nada cepat lalu segera membuka pintu dan memasukinya.

***

"Meskipun tanpa sadar lo udah nyakitin gw, bukan berarti gw harus ngejauh dari lo kan, Raf?" Gumamku dengan bertanya sambil memandangi sebuah gambar seorang anak laki-laki tengah merangkul seorang gadis kecil tepatnya gambar itu diambil ketika kami masih memasuki sekolah dasar kelas 4.

Ketika sendiri seperti ini memang saat-saat yang tepat dimana cewek tersakiti biasanya menangis sepuas mereka. Dan aku tidak berbeda dari mereka, aku juga menangis melampiaskan rasa sakit, agar sedikit berkurang.

Setelah puas memandangi sebuah gambar, aku memindah gambar tersebut ke dalam pelukanku sambil menatap langit-langit kamarku yang berwarna biru malam yang dihiasi gambar bintang-bintang, seolah aku sedang memandangi langit di malam hari.

Tanpa sadar air mata mengalir kembali mengalir, mengingat bagaimana manisnya perhatian Raffa padaku. Yang ternyata hanya aku terbawa perasaan selama ini, dan karena perasaan itu tanpa disengaja aku telah menghancurkan persahabatanku sendiri.

Aku memegangi dadaku, mengapa rasanya sangat sakit dan sesak? Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menusuk hatiku tiada henti. Bertahun-tahun mempersiapkan diri membangun benteng, dengan sekejap benteng itu hancur. Jadi, usahaku dalam membangun perbentengan agar hatiku kuat ternyata semuanya sia-sia saja.

Tok tok tok!

"Tiara.... ini kakak dek!"

Aku membulatkan mataku terkejut sambil berusaha menghapus jejak air mataku, lalu aku menatap sebuah kalender diatas meja lampu tidur. Setelah melihat tanggal dan hari aku benar-benar dibuat gelabakan karena hari ini KAK ARYA datang!

"Tiara, kakak tau kamu belum tidur." Ucap suara cowok itu lagi yang sangat ku kenali.

"Bentar kak! Tiara lagi ganti baju." Balasku, lalu dengan cepat menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku yang lumayan sembab akibat menangis tadi. Oh, Kak Arya pasti akan membuat babak belur seseorang yang membuat adik kecilnya ini menangis, huh.

Setelah membasuh wajah, aku segera berlari mengambil laptop membawa keatas kasur lalu aku berjalan untuk membukakan pintu kamarku yang terkunci.

"Kak Arya kapan datang?" Tanyaku setelah membuka pintu.

"Baru aja." Jawab Kak Arya sambil memasuki kamarku meneliti.

Lalu Kak Arya mendekati kasur melihat laptopku yang menyala, kemudian ia menatapku bergantian kearah laptop lalu aku. "Kurang-kurangin nonton drama, bentar lagi kamu ujian nasional. Jangan pinter mengeluarin air mata doang." Omelnya sambil menatapku menyelidik.

Aku tersenyum senang sambil mendekati Kak Arya yang kini menduduki kasurku sambil meneliti kamarku lagi, entah apa yang ia lihat aku tidak peduli tapi aku sangat merindukannya, aku langsung melompat menerjang tubuh kakakku ini dengan erat.

Kakakku ini sudah menikah dan jarang sekali kerumah, aku sangat merindukan omelannya itu.

"Kerjaan kakak mengomel terus, bikin aku kangen."

Diam-diam aku menghembuskan nafasku lega, setidaknya Kak Arya tidak mencurigai mataku yang sembab ini, aku sangat bersyukur dengan hobiku yang suka mengoleksi drama romantis yang membuat baper dan nangis kejer itu.

***

Kamis, 26 Oktober 2017

MUTIARA (COMPLETE!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang