Bab 1

260 6 2
                                    

"Taraaa!" Seorang gadis berkulit sawo matang keluar dari balik pintu kamar bercat coklat. Penampilan gadis itu membuat lelaki yang menunggunya sedari tadi tak berkedip menatapnya.

"Gimana, udah mirip Asma Nadia belum?" Ia berputar di hadapan lelaki berkaca mata itu memperlihatkan kerudung motif bunga yang dikenakannya.

Reza terkekeh membuat lesung pipinya terlihat begitu jelas. "Jauh banget. Asma Nadia enggak pake jeans robek, kali," ucapnya tak henti tertawa.

"Gue gak punya rok panjang," timpal gadis itu sambil tertunduk.

"Long dress?"

Alena terdiam mencoba mengingat pakaian yang dimilikinya. Seingat gadis itu, ia tidak pernah mengenakan dress apapun. Hanya ada tumpukan kaus lengan pendek dan jeans rombeng di lemarinya. Paling-paling beberapa jaket denim yang warnanya telah pudar dan sweater hitam begambar tengkorak.

"Emang, gue gak bisa berubah."

Alena membuka kain warna biru yang menutupi kepalanya hingga rambut mowhaknya terlihat lagi. Ia hempaskan kerudung itu ke lantai dan berlalu ke kamar.

"Lho, Len kok gitu?" Reza beranjak dari kursi menghampiri Alena. Langkahnya tertahan saat pintu kamar Alena tertutup.

Reza mengetuk pintu jati itu. Berulang kali lelaki berhidung bangir itu memanggil Alena tapi tak mendengar sahutan. Panggilannya justru disahut alunan lagu metal yang diputar dengan volume tinggi.

"Kata siapa kamu ga bisa berubah?" Teriaknya mencoba mengalahkan suara lagu Slipknot. Yang diajak bicara tak juga menjawab.

Dead inside... See the devil in I

A.. Hahahahahaha... Lirik itu terdengar jelas di telinganya seolah mewakili jawaban Alena.

Reza menghela nafas panjang. Kalau jadinya begini menyesal ia menertawakan gadis tomboy itu. Padahal ia tahu memang bukan hal mudah bagi perempuan sebebas Alena untuk berhijrah.

Seorang lelaki paruh baya berwajah santai menghampirinya dari lantai bawah. Reza terdiam dan tidak tahu mesti melakukan apa. Ia yakin Ayah Alena akan marah. Lelaki itu sangat mencintai putrinya. Ia adalah mantan ketua preman yang menipu. Wajahnya tidak sangar tapi tindakannya mematikan.

"Ada apa, Za?"

"Eh, anu Papa Bro eh, aduh..." Reza menggaruk kepalanya meski tak gatal. Ia sunggingkan senyum selebar-lebarnya pada Pak Manan, meski nasibnya belum tentu baik setelah itu.

"Ditanya kok malah senyum." Lelaki tinggi besar itu mengernyitkan dahi.

"Ini, si Alena lagi pengen menikmati hidup, katanya." Reza kembali memasang senyum palsunya. Ia terpaksa berbohong.

"Oh," jawab Pak Manan datar. Beliau berlalu menuruni tangga, lalu kembali berbalik menatap Reza.

"Terus kamu ngapain di situ? Mending main catur sama Papa Bro."

Lagi, Reza menyunggingkan senyum sambil mengangguk. Tak ada pilihan lain. Ia terpaksa bermain dengan Pak Manan yang selalu membuatnya bingung saat sedang main catur. Jika mantan preman itu kalah, maka ia marah. Jika menang, permainan akan terus diulang sampai lawannya menang dan sekali lagi, ia akan marah.

****

Sebuah buku berjudul Bukan Cinta Laki-laki Biasa terus ditatapnya. Saat membuka halaman pertama, Alena tersenyum melihat ukiran huruf arabik tertulis sebagai pembuka dari buku itu.

"Manusia yang baik adalah ia yang melakukan segala sesuatu atas nama Tuhannya."

Ucapan itu terngiang lagi di telinganya yang dipenuhi tindik. Membongkar kembali serpihan kisah di masa yang tak terlalu lama dilewati.

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now