Bab 5

14 1 0
                                    

Detak jarum jam dinding mengisi kesunyian, beradu dengan lantunan kalam Tuhan yang dibacakan Asma, kemudian diikuti Sazia. Alena hanya diam, mendengarkan penuh khidmat. Asma baru saja mengenalkan gadis itu huruf-huruf hijaiyah, dan rukun islam.

Gadis berkerudung merah jambu itu tak henti menatap perempuan jelita di hadapannya. Merdu suara Asma melelehkan kebekuan hatinya, mengguratkan sedikit linu di dasarnya. Ada secuil penyesalan yang hadir dalam rongga dada Alena. Mengapa ia tidak tumbuh seperti Asma?

Selain kagum, ada segurat rasa iri yang tergores dalam relung jiwa Alena. Ia dan Asma jelas perempuan yang berbeda. Ia tidak cantik dan sempurna seperti Asma, pula tidak tumbuh dalam asuhan sosok ibu yang menyayangi dengan tulus. Apalagi sosok ayah yang ramah dan bijak. Ayah? Alena sangat bahagia dengan ayah yang dimilikinya. Ia tidak akan membandingkan ayah manapun dengan ayahnya.

"Sadaqallahul'adziim." Asma dan Sazia menutup Qurannya.

Asma merasa risi saat menyadari sorot mata Alena masih setia menatapnya. Gerangan apa yang dipikirkan Alena tentang Asma? Aih, Asma tidak akan terlalu peduli, dan seharusnya tak peduli akan hal itu. Ia dan Alena hanya guru dan murid. Tidak akan ada sesuatu yang dipikirkan dan dibicarakan antara mereka selain tentang agama.

"Alena, ada apa?" Asma mencoba menyembunyikan rasa tidak sukanya. Barangkali tatapan Alena mengisyaratkan ingin bertanya sesuatu tentang kehidupan.

"Ah, engga. Ngajinya udah selesai, kan?" Alena terperangah, dan buru-buru menaruh iqra yang dipinjamkan Sazia padanya. Ia bangkit dan hendak pamit.

Asma hanya diam. Bagus juga jika perempuan aneh itu segera pulang. Ia sudah tidak kuat menahan rasa sakit dan kecewa yang menjejali ruang hatinya. Buku itu masih menyisakan luka perih di hati Asma. Ia tahu ini berlebihan. Tetapi ia juga manusia, terlebih seorang perempuan, tentu memiliki rasa sakit saat melihat gurat-gurat pengkhianatan. Aroma-aroma kebohongan dan pernikahannya dengan Ali terancam gagal karena perempuan itu. Ini terlalu berlebihan, Asma, batinnya.

Baru saja Alena bangkit, hujan turun. Derasnya air langit yang menyerbu bumi mengubah dentingnya menjadi gemuruh. Alena mematung di ambang jendela, menatapi guyuran air yang menerpa jalan, menciptakan ciptaran-cipratan besar. Ia sudah terbiasa dengan hujan. Ia tidak masalah jika tubuhnya kuyup oleh hujan, tetapi tidak mungkin membiarkan satu-satunya busana muslim yang ia miliki basah. Ia juga tidak mungkin membiarkan Al-quran pemberian ayahnya kuyup. Meski ia belum bisa membacanya, jelas ia tak akan merusaknya.

"Hujannya deras banget, payungnya dibawa Umi sama Abi keluar, lagi," kata Asma gelisah.

"Aku pulang dijemput Om Ali, Kak," kata Sazia.

Asma tertegun. Hatinya sedikit tersentak, menciptakan debaran di dadanya. Antara senang dan takut. Ia senang akan melihat calon suaminya, lelaki yang ia rindukan. Namun ia takut Ali tak ingin bertemu dengannya dan memilih diam di mobil, membiarkan Sazia mengajak Alena masuk ke mobil dan pulang bersamanya.

"Ya Allah, setan apa yang sedang merasuki hati dan pikiranku hingga membelengguku dalam kegelisahan ini?" batin Asma.

Tak begitu lama mereka menunggu. Sebuah sedan hitam muncul dan berhenti di halaman rumah Asma, setelah seorang pengemudi mobil itu keluar untuk membuka gerbang dan memasukkan mobilnya. Sosok tinggi itu mengembangkan payung besar dan berjalan ke arah pintu. Ingin rasanya Asma membuka pintu dengan segera. Namun ada sesuatu yang menahannya. Hatinya sendiri.

"Om Ali!" Sazia buru-buru membuka pintu, dan menghampiri pamannya.

Asma melangkah ke ambang pintu, diikuti Alena. Ali melempar senyum pada perempuan jangkung berwajah timur tengah itu. Yang diajak tersenyum hanya membalas sekedarnya. Di belakang, Alena diam memandang Ali, canggung.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now