Bab 4

14 1 0
                                    


Toko kue sedang ramai. Karena banyak pembeli, sang pemilik toko turut menyibukkan diri bersama karyawan. Bahkan jadi yang paling sibuk. Berjalan hilir mudik ke dapur dan ruang pemesanan, membawa kue yang baru selesai dibuat, mengambil kertas pesanan ke tempat pembuatan kue. Saking banyaknya pembeli, mereka kehabisan stok kue, dan harus membuat dadakan. Saking sibuknya, Asma lupa untuk mengangkat telpon yang terus berdering, dan lupa kalau siang sudah berganti malam, dan ia lupa mengajari Zia dan Alena mengaji.

"Kak Asma." Sentuhan Reina, karyawan Asma membuat gadis yang sedang mematung di toko itu terperangah.

"Ya, ada apa?" tanyanya tergagap.

"Kak Asma melamun, ya?"

Perempuan ayu itu diam. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kosong tanpa seorang pun di sana selain ia dan karyawannya. Kue-kue masih berdiam manis di etalase. Hari itu, belum ada satu pun pengunjung, dan barangkali tidak akan ada pembeli yang datang. Hari sudah sore.

Asma mencelos kecewa. Harapannya menyibukan diri untuk menghidari pertemuan dengan perempuan itu musnah sudah. Ia tidak punya alasan untuk menghindar.

"Kak Asma, dari tadi hape Kakak bunyi."

Asma mengambil ponsel yang terus berbunyi di atas meja. Lagi, Ali menelponnya, membuat gadis itu menjadi semakin menyesali keadaan toko kue yang sepi pembeli. Tanpa berpikir panjang lagi, Asma mematikan ponsel. Ia tidak ingin berbicara dengan siapapun.

Dari arah pintu masuk, seorang lelaki jangkung bertubuh tegap masuk. Pakaiannya yang serba hitam, dan wajah yang terlihat lembut, tapi terkesan tegas itu ramah menyapa Reina. Ia menanyakan kue paling enak yang dijual di toko itu.

Asma buru-buru menghampiri lelaki itu. Senyumnya begitu rekah dan tatapannya amat cerah. Barangkali lelaki itu telah menjadi penglaris toko, dan Asma berharap ada pelanggan lain yang datang setelahnya.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau beli kue paling enak di sini."

"Semua kue di sini enak-enak, Pak. Saya jamin itu," sahut Asma ramah.

"Baiklah. Kalau begitu, saya ingin yang paling spesial." Lelaki paruh baya itu melempar senyum pada Asma.

Dada Asma berdebar kencang. Hal itu terjadi begitu saja. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat itu. Tetapi tatapan hangat dan senyum ramah lelaki itu benar-benar merubah mood Asma. Ia datang seperti senja yang teduh, namun hangat dan indah.

"Ini kue yang paling spesial. Saya yang membuatnya sendiri." Asma menyodorkan red velvet berhias krim yang dibentuk mawar di sekelilingnya. Taburan serbuk merah tertatap rapi di tengahnya.

Lelaki itu menatapi kue yang disodorkan Asma. Lama ia tertegun, membuat Asma tegang. Ia berharap pelanggannya setuju dengan pilihan Asma.

"Cantik. Seperti pembuatnya," ucap lelaki itu, menatap Asma hangat.

"Bapak bisa saja," katanya tersipu. "Jadi, setuju dengan yang ini?"

"Iya." Katanya merogoh saku.

Asma buru-buru menyiapkan pengemasan kue. Tingkahnya membuat para karyawan menatapnya heran. Barangkali pikiran mereka sedang melayang ke mana-mana. Atau mereka sedang berpikir Asma menyukai lelaki paruh baya itu. Tetapi lelaki itu sudah terlihat berumur, dan bisa saja sudah berkeluarga. Ah, pikiran macam apa yang sedang berkeliaran di kepala mereka.

"Terima kasih atas pembelian kuenya. Semoga anda suka." Asma memberikan kantong palstik berlogo brand kuenya pada lelaki itu.

"Wah, saya yang terima kasih malah." Kata lelaki itu menyodorkan uang.

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now