Bab 2

83 1 0
                                    

Selembar fotore Asma Nadia berukuran 6x5 ia selipkan pada buku yang sering dilihatnya itu. Alena merebahkan tubuhnya di atas kasur berseprai putih. Mata sipit itu menatapi lampu. Seorang wanita bernama Asma telah merasuki pikirannya. Ia menyimpan mimpi besar pada wanita berhijab itu.

"Mama," gumamnya menitikan air mata.

Ya, gadis itu merindui sosok ibu dalam hidupnya. Entah kapan ia terakhir kali merasakan lembutnya belaian ibu. Setahunya, anak itu makan dari olahan asisten rumah tangganya. Tidur lelap dalam dekapnan selimut, dan tumbuh hanya dengan kasih sayang seorang ayah yang mendidiknya begitu keras.

Buku bersampul kuning keemasan itu ia buka kembali. Membaca tiap kalimat yang berbaris teratur dalam sebuah cerita berjudul Cinta Laki-laki Biasa. Cerita itu tidak pernah membosankan meski telah berkali-kali di baca.

Seorang wanita bernama Nania saja bisa mencintai lelaki sederhana. Padahal ia adalah wanita sempurna. Seandainya Hani adalah Nania atau mungkin Asma Nadia, hidupnya tidak akan seperti ini. Lagi, Alena mebawa selembar foto yang ia selipkan di buku itu.

"Mengapa kamu tidak menjadi mamaku saja?" Gadis itu menatap potret Asma Nadia yang tengah tersenyum ke arah kamera. Sesuatu mulai mengaburkan pandangannya.

Reza mengatakan, jika wanita itu adalah pahlawan untuk suami dan anaknya. Dia bertahan di samping suaminya meski karirnya sangat baik. Mengurus keluarga dengan begitu baik tanpa melalaikan karir. Padahal, wanita lazim dengan keangkuhan saat ia memiliki kedudukan di atas suaminya. Seperti Hani, yang memilih pergi ke Paris untuk karirnya.

"Mama," gumam Alena pada foto itu. Bulir bening meluncur mulus ke pipinya dan bermuara di kertas yang dipegangnya.

Pak Manan yang sedari tadi menatapnya di ambang pintu mendekat. Gadis itu menghambur ke pelukannya dengan isakan yang menyesakan dada ayahnya.

"Kamu benar-benar telah kembali, Alena," ucap lelaki itu menahan tangis. Seandainya ia bukan lelaki dan mantan penguasa kota, mungkin titik-titik bening itu telah turun ke pipinya.

Ya. Memang gadis itu adalah Alena. Ia tidak pernah pergi ke mana pun. Hanya saja sesosok Al menutupi dirinya dari dunia. Menahan bendungan air mata dengan tinjunya. Tentu rindu dan sakit itu tersembunyi di balik gelak tawa preman bernama Al.

"Setidaknya, kamu memiliki pelajaran yang sangat besar." Pak Manan membelai rambut putrinya.

Ia berharap gadis itu menjadi wanita cantik yang tangguh seperti dirinya. Setia meski tersakiti dan tetap damai walau kekecewaan di hatinya begitu gaduh berteriak. Ia bisa saja membunuh penghianat itu dengan tangan kekarnya. Ia juga sanggup menikahi perempuan yang lebih muda dari Hani dengan uang hasil keringatnya sendiri. Tetapi Hani menorehkan luka yang memberinya pelajaran, bahwa cinta dapat terkalahkan harta. Apa gunanya memiliki banyak wanita yang tidak memiliki cinta untuknya?

***

Asma tersenyum manis setelah membaca pesan temannya. Ali lelaki yang romantis, pikirnya. Ia tak sabar menanti pakaian yang dihadiahkan Ali.

Kemarin ia tak sengaja melihat lelaki itu memilih pakaian merah jambu bermotif bunga di butik temannya. Ali mungkin tidak menyadari gadis pencuri hatinya sedang tersenyum memerhatikan lelaki brewok itu. Terlalu sibuk memilih hadiah, mungkin.

"Astagfirullah!" Asma terkejut menatap angka pada jam digital di dinding kamarnya.

Gadis berbaju toska itu segera mengambil tas dan bergegas ke luar. Tanpa sarapan, ia berpamit pada orang tuanya yang masih menikmati hidangan pagi. Sudah terlalu siang untuk membuka toko kuenya jika ia menikmati sarapan.

***

Asma mematung di hadapan lelaki yang sedari tadi menunggunya di depan toko kue yang masih tutup. Lelaki itu menganalkan calon murid Asma. Perempuan yang sangat cantik dan tentu spesial bagi Ali. Ia benar-benar menyayanginya.

"Keponakanku sedikit pemurung. Kamu harus bisa membuat dia ceria seperti dulu," bisik Ali pada Asma yang tengah memegang lengan anak kecil di samping lelaki itu.

"Zia, katanya mau ngasih kejutan buat Tante." Ali menatap gadis kecil yang memiliki wajah mirip dengannya.

Anak itu hanya tersenyum simpul menatap Asma. Ia mengambil sebuah kotak merah jambu dari mobil hitam yang terparkir di depan toko. Kotak itu berpindah ke tangan Ali.

"Ini hadiah dari kami!" Ucap Ali memberikan kotak itu dan bunga daisy kesukaan Asma.

"Terima kasih!" Asma tersenyum pada keduanya.

Sebuah boneka beruang duduk manis di dalam kotak itu. Ali tidak jadi memberikanya baju. Ia tetap senang. Boneka putih itu lucu dengan dasi kotak-kotak. Benda menggemaskan itu akan menemani tidurnya nanti.

Belajar akan di mulai nanti sore. Pagi ini Ali menemuinya hanya untuk memberi hadiah dan mengenalkan Sazia pada Asma. Sebenarnya lelaki itu juga meminta Perawan cantik itu untuk menerima satu pelajar lagi.

"Sebentar lagi dia datang. Sedang di perjalanan." Ali meminta Asma bersabar meski gadis itu tidak terlihat bosan.

Mobil Jeep hitam berhenti di hadapan mereka. Reza, adik Ali turun dan menyapa Asma. Ia meminta seseorang di dalam mobil untuk segera turun dan memperkenalkan diri pada Asma.

Perempuan berbusana merah jambu dengan motif bunga turun dari mobil itu. Kepalanya yang ditutupi kerudung berwarna senada melempar senyum pada Ali. Asma menatap gadis itu dengan dada sesak.

"Namanya Alena. Dia benar-benar butuh bimbingan kamu." Ali menatap kekasihnya dengan senyum bahagia.

"Inikah kejutan itu?" Gumamnya dalam hati.

***
Nb: Jangan ditiru alias plagiat!  Kasihanilah penulis pemula ini.  Plagiat didoain melarat!

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now