Bab 2 bagian 2

69 4 0
                                    

Asma mengucek semua adonan kue tanpa takaran. Kekalutan meliputi pikirannya kini. Apa maksud semua ini? Lelaki itu mengulur waktu pernikahan lebih lama dari waktu yang telah dimundurkan Asma. Setelah sulit dihubungi, kini ia memberinya kejutan manis. Saking manis ia begitu linu mengecap semua yang dilihatnya pagi tadi.

Lelaki itu pergi begitu saja dengan bocah yatim piatu, dan seorang gadis yang ditinggalkan Reza karena urusan penting. Tanpa penjelasan apa-apa. Seakan ia ingin Asma menikmati praduganya dan semua kekalutan ini.

Seandainya gadis itu tidak pulang dan bertahan di Riyadh, mungkin ia tidak akan begini. Ayahnya bertemu Ali di bandara saat hendak menjemput putri semata wayangnya. Setelah beberapa kali bertemu dan akrab, Pak Kareem ingin menjadikan lelaki itu menantunya.

"Dia anak teman kuliah Abi," ucap Pak Kareem malam itu, tepat saat Asma meresmikan toko kuenya.

Pak Kareem yakin Ali lelaki baik. Tutur kata dan tingkahnya begitu sopan. Ia juga cerdas. Alumnus fakultas ekonomi di Brimingham University. Dan tentu ia sangat taat pada agama. Lelaki sempurna untuk gadis sebaik Asma. (Sebenernya paragraf ini ga terlalu penting. Tapi ya sudahlah).

Meski ragu, akhirnya gadis berhijab itu menerima tawaran ayahnya. Bagi Asma menikah ialah urusan ketaatan pada Tuhan. Masalah cinta ia yakin akan tumbuh dengan sendirinya. Toh jika ia menikah karena Tuhannya, tentu ia akan melakukan yang terbaik untuk memertahankannya.

Setelah perkenalan dengan keluargaa, Ali menjadi rajin berbicara dengan calon pengantinnya. Ia adalah wanita sempurna yang akan menjadi penyempurna imannya. Cinta datang pada dua insan yang tiak pernah bertemu sebelumnya lewat pengabdian pada Tuhan mereka.

Teriakan seorang lelaki membuyarkan lamunan Asma. Gadis itu segera menyimpan loyang kue dan bergegas ke depan.

"Ada apa ini?" Perempuan itu bertanya dengan nada tinggi. Ini kali pertamanya ia emosi sampai separah itu.

Seorang lelaki kekar dengan tato kujang di lengan kanannya mendekati Asma. Ia mengulurkan telapak tangannya.

"Iyuran keamanan!"

"Saya sudah membayarnya ke kantor urusan pajak. Ini toko saya. Resmi bukan sewaan."

"Uang keamanan sama pajak beda lagi!" Lelaki itu mebesarkan mata tajamnya ke arah Asma.

"Dengan atau tanpa anda, toko ini akan tetap aman."

"Berani ya?" Preman itu menendang etalase yang berisi deretan kue tart hingga bergeser.

"Keluar!" Bentak Asma mengarahkan telunjuk lentiknya ke pintu.

Beberpa pegawai terlihat melongo melihat reaksi bosnya. Belum pernah mereka melihat gadis selembut Asma bersikap sekeras ini. Seorang perempuan bertubuh mungil mendekati Asma dengan wajah tertunduk.

"Maaf, kak. Aturan di sini memang begitu. Kita membayar keamanan pada mereka untuk menghindari pencurian dan perampokan."

"Sebelumnya kita tidak membayar dan toko ini tetap aman," kata gadis itu datar.

"Jadi tidak mau membayar? Ya sudah. Tapi jangan salahkan tim kami jika ada sesuatu yang buruk menimpa toko ini. Kami tidak bertanggung jawab untuk toko ini." Lelaki berkaus hitam itu pergi sambil menendang meja kasir dan membanting pintu.

Ruangan hening seketika. Asma mematung di antara lima karyawan yang memerhatinya dengan mimik keheranan. Gerangan apa yang terjadi pada gadis cantik ini. Kondisi ruangan gaduh seketika saat hidung mereka mengendus bau gosong dari arah belakang. Mereka buru-buru menghambur menuju lokasi.

***

Sebuah sedan hitam terparkir di halaman rumah Asma. Seorang lelaki berjambang turun menuntun gadis kecil yang duduk di sampingnya. Di belakangnya, gadis manis berbaju merah jambu mengikuti dan menyejajarkan langkah menuju teras.

Asma mematung di samping gerbang. Nafasnya tersenggal-senggal. Detak jantung Asma begitu kencang dan tubuhnya amat panas. Bukan hanya karena ia telah berjalan jauh dari halte menuju rumah, melainkan apa yang ada di depan matanya.

Ia tidak pernah menaiki mobil Ali. Alasannya mereka bukan mahrim. Tetapi siapa gadis itu, yang selalu jalan berdekatan dengan Ali? Hanya Sazia keponakan Ali. Ia tidak memiliki saudara perempuan, setahunya.

Seseorang melangkah keluar dari rumah. Senyum dan sapa wanita itu begitu hangat pada mereka. Ibu itu tiba-tiba mengarahkan telunjuknya pada Asma yang masih mematung di dekat gerbang. Mereka menoleh ke arah yang di tunjuk Bu Farah seraya melempar senyum pada gadis itu.

"Asma!" Suara Bu Farah terdengar riang di telinga.

Asma melangkah menuju mereka dengan senyum yang dibuat-buat. Apa yang terjadi pada dirinya kini sungguh ia tidak tahu. Yang jelas ini pertama kalinya ia merasakan kekalutan yang begitu membebani pikirannya.

Setelah mempersiapkan diri, Asma menemui mereka lagi di saung halaman belakang. Di tempat itulah ia akan mengajar muridnya untuk pertama kali. Suasana terlihat tentram dengan sorot matahari sore yang berpendar damai di taman itu.

Ali segera pamit setelah Asma datang. Tak lupa lelaki itu menitipkan mereka berdua pada Asma dan Bu Farah.

"Nanti kalau sudah selesai, telpon, ya. Biar aku jemput," kata Ali pada sesosok gadis yang duduk manis di jerambah saung. Perempuan itu mengangguk dengan tatapan riang.

"Asma, aku pamit." Ali melempar senyum yang dibalas senyum hambar gadis itu.

"Allah, kuatkan aku," gumamnya dalam hati sembari menatap punggung Ali dengan mata berkaca.

Langkah Ali terhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang. Menatap Asma begitu hangat. Lagi, ia berikan senyum manisnya pada gadis itu.

Ponsel Asma berbunyi. Sebuah pesan WA masuk. Dari kontak bernama Ali Asma Al Hasan.

| Assabrun jamil. Orang sabar itu cantik. :) |

Asma tersenyum simpul memandang ke arah Ali melangkah. Lelaki itu sudah tidak ada. Setidaknya rasa cemburu itu sedikit tetobati.

Sazia membuka Al-Qura'an seperti yang diperintahkan gurunya. Anak itu baru saja hatam Iqra enam. Hari ini mereka akan belajar membaca Al-fatihah.

"Alena, ayo buka Al-qur'annya," perintah Asma lembut.

Lena hanya melempar senyum canggung ke gadis itu. Ia tidak memiliki Al-qur'an dan belum sempat membelinya. Alena justru menunjukan sebuah buku bersampul kuning kecoklatan yang bertuliskan Cinta Laki-laki Biasa.

"Cuma ini yang aku punya. Ini juga pemberian." Alena melempar senyum konyolnya ke gadis itu.

Dada Asma terasa sesak tiba-tiba setelah melihat buku itu. Ia tersenyum dan berpura-pura akan mengambil Qur'an untuk Alena. Di kepalanya, wajah Ali dan senyum lelaki itu hadir lagi.

.

"Ali," gumamnya menahan air mata.

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now