Bab 3

84 4 0
                                    


Ritual makan malam begitu hening. Tidak seperti biasa, Asma lebih dulu meninggalkan meja makan. Kedua orang tuanya hanya menggeleng pelan.

"Asma," panggil Pak Kareem.

Gadis itu menoleh. "Asma sangat mengantuk, Abi." Ia berlalu ke kamarnya dan menutup pintu rapat.

Tidak pernah ia rasakan kecewa seperti ini, sebelumnya, apalagi pada seorang lawan jenis.

Ponsel pintarnya menyala lagi. Ada tiga Chat masuk. Sebuah nama bertuliskan Alee menghiasi layar ponsel berlatar senja.

[Assalamualaikum! 😊]

[Sibuk, ya?]

[???]

Asma menutup aplikasi Whats appnya dan menghempas ponsel putih itu ke kasur. Helaan nafas panjang Asma terdengar berat. Mata bulatnya mulai terasa panas saat sosok wajah Alena muncul di kepalanya. Buku kuning yang dibawa gadis itu persis dengan buku yang dipinjamkan ia pada Ali, berbulan lalu. Pantas saja lelaki itu bergeming saat ditanya perihal kabar bukunya. Ternyata buku itu berada di tangan orang lain.

Dadanya terasa sesak, dan nyeri. Ia menggigit bibir bawahnya kuat, menahan sakit yang sulit dijelaskan. Entah penyakit apa yang sudah menyerang pertahanannya, jelasnya, gadis itu sekarang ambruk di pembaringan. Mata dan pipinya mulai basah. Sekuat mungkin ia menahan isakan agar tak terdengar orang. Ini malam yang sunyi, dan tak ada suara sepelan apapun yang tak terdengar.

"Asma!" Ibu mengetuk pintu.

Ia segera menyeka air mata dan meringkuk dalam balutan selimut tebal bermotif bunga.

Ini kali pertamanya ia mengabaikan panggilan seorang ibu. Bukan karena benci, melainkan menghindar dari pertanyaan yang tidak ingin ia jawab.

Ibu beranak tunggal itu masuk, mengambil posisi duduk di samping putrinya yang sedang meringkuk. Bu Farah mengusap Asma lembut.

"Ibu tahu kamu belum tidur. Abimu ingin bicara," kata perempuan paruh baya itu. "Ayo Asma, beliau sudah menunggumu di belakang."

Tidak ada respon apapun dari Asma. Bu Farah mengguncang tubuh Asma pelan. "Jangan sampai Umi meninggikan suara untuk membuat kamu bangun, Asma!"

Di balik selimut, Asma mengusap genangan air pelupuk matanya. Gadis itu bangkit, memunggungi ibunya, dan melangkah dengan kepala menunduk. Berjalan ke halaman belakang, tempat di mana ia dan keluarganya berkumpul.

Taman belakang memang cocok dijadikan tempat bermusyawarah, mengobrol dan berasantai. Suasana malam terasa sepi, dan udara begitu sejuk. Gemercik air di kolam hias terdengar menenangkan. Seorang lelaki paruh baya sudah duduk di bawah atap saung. Cahaya dari lampu yang temaram menyorot wajah teduhnya. Ia yakin, akan ada nasihat yang keluar dari mulut Pak Kareem.

"Duduk, Nak!" perintahnya lembut.

Asma menatap ayahnya ragu, lalu duduk di samping punggung ayahnya.

"Pernikahanmu bagaimana?"

Lama gadis itu terdiam. Berat rasanya untuk bersua, ketika ia harus kembali mendengar kata "nikah."

"Asma tidak tahu, Abi. Mungkin, akan dibatalkan," jawabnya kemudian.

Pak Kareem menatap Asma dengan senyum kecut. "Kenapa?"

"Sepertinya, Ali sudah menemukan perempuan lain yang jauh lebih pantas untuk dia. Usianya juga lebih muda dari dari Asma, Abi."

"Apa dia Alena?"

Ia bergeming. Nama itu selalu membuatnya sakit. Dirasakannya lagi nyeri di bagian ulu hati. Matanya mulai berkaca. Tidak ingin terlihat cengeng, ia menengadah, berpura-pura menatap langit hitam bertabur bintang. "Sepertinya, Abi sudah selesai bicara. Asma ke dalam, ya." Gadis itu bangkit, membelakangi abinya, dan menjauh.

Seputih Cinta AsmaWhere stories live. Discover now