Chapter 4

23 4 0
                                    

Dialah, Diaku.

"Selamat tahun baru Bu." Sapa Mas Adit ketika sampai di ruang makan. Tak lupa Mas Adit langsung menjatuhkan bibirnya ke tangan hangat milik mama. "Tadi sampai kok ndak ngebangunin Ibu, nak?" kata mama seperti menyesal karena tertidur sebentar selepas sholat magrib. "Tadi Adit capek jadi langsung istirahat." Begitu tutur mas Adit seraya mengambil kursi di hadapanku. Ia menatap seluruh makanan yang tersaji di meja sembari mengalihkan pandangannya lurus kepadaku.

Dialah, Diaku. Yang selalu terpesona dengan makanan buatan rumah. Mungkin jatuh cinta buatnya tidak semudah memenuhi selera lidahnya. Karena ia orang Indonesia asli yang sejak kecil hanya menyantap makanan buatan Ibunya. Semenjak berkuliah di salah satu kampus terbaik disini, Mas Adit memilih tinggal di rumah mama yang merupakan sahabat Ibunya karena ia memang tidak ingin mengambil risiko untuk menjadi anak kos. Mama yang saat itu membutuhkan bantuan dari seseorang untuk bisnisnya langsung menyambut Mas Adit dengan tangan terbuka. Mas Adit lulusan Bachelor of Business Administration di Taiwan. Begitu lulus studi sarjana, dia memilih untuk kembali ke Indonesia karena Ibunya memaksa putra pertamanya untuk melanjutkan studi di tempat ayahnya mengajar menjadi dosen. Aneh bukan? kenapa ada lulusan luar negeri yang mengambil studi masternya di Indonesia? Sedangkan mahasiswa lulusan sarjana di Indonesia akan melanjutkan studi master di luar negeri. Pernah aku menanyakan hal itu kepadanya yang dijawab dengan sebuah petuah yang sangat bijaksana. "Kalau menurut saya, menuntut ilmu itu bukan tentang dimana tapi bagaimana keseriusan kita. Katakanlah saya memiliki niat untuk melanjutkan studi master di Taiwan, tapi saya tidak benar-benar serius menyelesaikan studi tersebut. Malah nanti saya bisa jadi akan merubah niat saya untuk menuntut ilmu menjadi seseorang yang angkuh dan sombong. Karena secara tidak langsung saya merasa bahwa saya lulusan dari kampus di Taiwan." Sebenarnya aku tidak terlalu setuju dengan alasannya. Tapi aku tersadar dengan maksud sebenarnya kenapa ia tidak melanjutkan sekolahnya di Taiwan ketika aku meminta saran untuk rencana studi masterku. "Terus aku lebih baik lanjutin studi di New York atau Indonesia?" Sengaja aku tidak menjadikan Singapura sebagai salah satu negara tempat aku melanjutkan studi karena aku hanya akan jauh dari mama dan Mas Adit. "Kalau menurut saya terserah kamu mau pilih untuk melanjutkan studi dimana. Tapi akan lebih baik jika kamu belajar di Indo saja. Menjaga jarak agar tidak terlalu jauh dengan Ibu. Sekalian membantu bisnis Ibu." katanya tenang. "Kan jauh dari Mas Adit nanti kalau sekolahnya di Indo." aku mencoba memberikan pendapatku. Aku menjelaskan jikalau surga memang di telapak kaki ibu. Tapi ketika ia telah menikah, bukankah ia harus menggapai surganya yang lain dengan seseorang yang menggenapkan agama bersamanya. "Kan saya bisa pulang beberapa kali dalam setahun dan kamu juga bisa ke New York ketika libur semester. Saya tidak ingin menjadi laki-laki yang merebut anak perempuan dari Ibunya, Sofi. Kamu tau kalo saya tidak akan bisa menyakiti Ibu, bukan?"

Aku tau betul jika Mas Adit yang selalu disebut dengan sebutan 'Nak' oleh mama itu menginginkan aku untuk menghabiskan waktu yang terbuang selama aku studi di Aussie bersama mama. Ia selalu mengatakan bahwa cintanya mama kepadaku tidak akan sanggup digantikan oleh cinta yang ia berikan. Mas Adit selalu mengatakan bahwa mama punya alasan sendiri kenapa harus bersikap dingin kepada putri semata wayangnya. Mama hanya tidak ingin aku tumbuh menjadi gadis manja karena dibuai banyak kasih sayang tapi aku tidak bisa hidup mandiri. Mama masih trauma ketika papa meninggalkan kami terlalu cepat. Saat itu usia pernikahan papa dan mama baru genap 20 tahun. Mama yang tidak pernah sekalipun menyangka jika Tuhan akan mengambil terlebih dahulu orang yang dicintainya itu harus siap menjadi seorang single parent.

Selesai makan malam, mas Adit mengajak aku pergi sebentar. Katanya ingin menunjukkan sesuatu padaku. Aku yang jarang memiliki waktu berdua dengan dia, setuju saja dengan permintaannya kali ini.

Kami melakukan perjalanan cukup panjang yang membutuhkan waktu 2 jam di dalam mobil hingga kami tiba di suatu pekarangan. "Saya berniat membeli rumah ini jika kamu setuju." Begitu ia membuka percakapan setelah kami turun dari mobil. Sejujurnya aku sedikit kaget dan tidak menyangka jika dia akan membeli rumah untuk ditempatinya bersamaku. Aku berpikir jika kita bisa tinggal bersama mama seperti biasanya. "Rumah ini dibeli karena Mas Adit merasa tidak nyaman tinggal di rumah mama setelah menikah atau Mas Adit punya alasan tersendiri?" Aku yang tidak ingin menebak-nebak sendiri alasan Mas Adit membeli rumah ini memilih menanyakan langsung pada sang pemilik ide. Aku sebenarnya penasaran apakah rumah ini memiliki kenangan khusus seperti pernah ditinggali oleh wanita yang dicintainya. Tapi aku merasa hal tersebut pastilah tidak mungkin karena Mas Adit bukan seorang player. Dia bahkan tidak pernah membawa seorang perempuan ke rumah ketika mengambil studi master di Universitas Indonesia. Mungkin saat itu aku merasa mama dibodohi lelaki tampan ini. Mana mungkin dia mengajak seorang perempuan ke tempat tinggalnya sementara masih ada banyak tempat terbuka seperti cafe dan tempat-tempat lain yang bisa ia gunakan untuk nge-date. But, I think I was wrong about my opinion. Aku baru menyadari itu setelah aku menolak lamaran pertamanya. Ya, laki-laki ini adalah laki-laki yang pernah aku tolak sekaligus aku terima. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu rumit urusan hati ini. Tapi siapa juga yang ingin gambling dengan menerima secara langsung lamaran pernikahannya meskipun kita tau dia adalah orang yang qualified. Aku memang bodoh untuk urusan tarik ulur. Jadi ku biarkan saja hubungan kami mengalir begitu saja meski berujung tanpa status setelah penolakan yang pertama.

Aku ingat sekali penuturannya kala akan berangkat ke New York untuk pertama kalinya. Biasanya ia akan mengajak mama turut serta untuk mengantarkannya ke bandara. Tapi saat itu Ia hanya bilang ingin diantar olehku meski akhirnya dia yang menjadi supir. Padahal aku sudah bilang kalau Mas Adit akan capek jika harus menyupir sendiri ke bandara yang kemudian kalah telak dengan statement pendeknya. "Saya kalau capek bisa langsung istirahat di pesawat Sofi." Baiklah aku memang tidak akan pernah menang jika harus berdebat dengannya. Dia benar-benar orang yang berbicara sedikit tapi tepat sasaran. Saat menunggu boarding pun aku sampai tidak tau harus berkata apa ketika ia menjelasakan alasannya melamarku yang jelas-jelas sudah ku tolak. "Saya tau kamu pasti penasaran kenapa saya setuju dengan ide kedua orang tua kita untuk melakukan perjodohan. Sebenarnya saya hanya berpikiran sangat sederhana untuk urusan pernikahan. Saya hanya perlu mencari seseorang yang sudah jelas asal usulnya. Bukan berarti saya masih menganut sistem bibit, bebet, dan bobot. Hanya saja kamu sudah termasuk kedalam paket itu. Saya akui kamu pintar, mandiri, dan baik. Jadi kenapa saya harus mencari yang lain yang belum jelas. Saya juga sering mendengar cerita tentang kamu dari Ibu dan itu makin membuat saya yakin."

Katakan perempuan naif mana yang masih tidak luluh dengan penjelasan panjang lebarnya barusan. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk mencoba mengenalnya. Aku dan Mas Adit intens berkomunikasi meski harus melalui telepon genggam. Aku harus menunggu waktu yang cukup lama sampai lamaran keduaku datang. And that's a worth to wait ♡
-----------------------------------------------------------
Kalau yang Maha membolak-balikkan hati sudah menuliskan takdir kita dengannya, maka kita bisa apa?

BEFORE WE FEEL [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang