Singapore, September 2018
Setelah mengurusi berkas-berkas yang aku butuhkan untuk interview kerja di Singapura, aku menerima telpon dari Mama. Aku masih tetap menyembunyikan tentang aku yang melamar kerja di Singapura karna aku tau mama pasti tidak akan setuju. Sebenarnya, aku bukan anak yang suka menentang atau tidak patuh kepada orang tua. Hanya saja aku ingin mengikuti instingku. Aku pernah memikirkan sebuah nama perusahaan di Singapura untuk tempatku bekerja. Dan itulah kenapa hari ini aku menginjakkan kaki di negara dengan biaya hidup termahal di Asia Tenggara.
Pagi ini, aku disambut udara yang segar tanpa polusi dan kemacetan seperti di Indonesia. Aku bersemangat untuk beranjak ke perusahaan di bidang creative industry. Setiba di kantor, aku sampai saat pintu lift tertutup. Tetapi belum 10 detik, lift kembali terbuka dan seseorang yang aku kenal menyuruhku masuk. Tapi ada yang berbeda dengan pertemuan keduaku dengan mas Adit. Dia mengajakku berbicara dalam bahasa inggris. "Come in, Sofia." Kalimat singkat itu berujung pada pertanyaan kenapa aku bisa ada di Singapura. Aku hanya menjelaskan jika aku sedang mengikuti interview kerja yang dibalas dengan kalimat "Well, goodluck Sofia."
Ini kali pertama aku melihat mas Adit tersenyum. Aku sediki terpesona dengan wajahnya yang rupawan. Ia begitu sempurna dengan pakaian kerjanya. Aku membaca identitasnya dan menyadari jika ia bekerja di salah satu perusahaan besar di New York yang memiliki cabang hampir di seluruh dunia. Sebelum berpisah, mas Adit mengajak untuk makan siang bersama. Katanya ia senang bisa bertemu denganku disini. Aku hanya mengangguk sopan sambil tersenyum singkat. Kemudian pintu lift menutup dan kita pun berpisah.
Seperti itulah pertemuan keduaku dengan mas Adit.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Saat jam makan siang, aku tidak menyangka bahwa mas Adit sedang duduk di lobby perusahaan tempat aku interview kerja. Dia langsung berjalan ke arahku ketika melihat aku baru saja keluar dari ruang interview.
"Gimana interviewnya?" begitu sapanya.
"Emm good enough I guess." kataku ikut menebak-nebak hasil interview tersantai yang pernah aku lakukan. Sebelumnya aku pernah beberapa kali magang di perusahaan saat masih kuliah. Aku merasa bahwa walaupun terkenal dengan profesionalitas tinggi, namun budaya keramahan orang Asia masih terasa disini. Atau aku tenang karena direkomendasikan oleh Fatir? Entahlah kenapa aku malah memikirkan orang lain saat tengah duduk berdua dengan mas Adit di sebuah kafe tak jauh dari perusahaannya.
"Jadi wisuda bulan ini atau bulan depan, Sofia?" pertanyaan mas Adit menyadarkanku akan keberadaanku dengannya saat ini.
"Awal bulan depan mas." balasku singkat, padat, dan jelas. Lalu aku memilih fokus menikmati makanan yang sudah dihidangkan di meja agar aku bisa cepat menyelesaikan situasi yang cukup awkward ini.
Selesai makan, mas Adit hendak mengantarkan kembali ke hotel tempat aku menginap selama menyelesaikan urusan disini, yang aku tolak dengan alasan jika aku tidak ingin mengganggu jam kerjanya. Namun sebelum berpisah, kami sempat bertukar nomor telepon. Ia berkata untuk tidak sungkan menghubunginya jika aku butuh bantuan selama disini. As soon as I leave the cafe, he sent me a suspicious chat.
"I have a good feeling about your interview. And it's nice to see you again!"
KAMU SEDANG MEMBACA
BEFORE WE FEEL [REVISI]
Teen FictionIni adalah kisah Sofia Amelia yang belum menyadari dengan apa yang dirasakannya saat perayaan ulang tahunnya ke-23. Ia masihlah Sofi yang sama. Seorang gadis yang merantau ke negeri orang hanya untuk melarikan diri dari kenyataan, bahwa ia cukup tid...