Menunggu adalah hal paling menyebalkan, apa lagi jika tanpa kepastian
***
Cahaya oranye senja menyentuh pelan pipi Hinata. Ia tengah duduk termenung di depan butiknya---yang sudah ditutup---seorang diri. Sakura, rekan sekaligus sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu, baru saja dijemput oleh suaminya, Uchiha Sasuke. Sehingga membuat wanita berambut panjang itu terlarut dalam kesendirian, dengan suasana hatinya yang tak pernah tenang akhir-akhir ini.
Pandangan wanita itu menatap lurus ke depan, entah apa sebenarnya yang menjadi objek penglihatannya. Mungkin lalu lalang pejalan kaki yang melintas, atau mungkin lalu lalang kendaraan umum yang seakan tiada habisnya melewati jalanan di depannya?
Entahlah ...
Tapi sepertinya bukan keduanya.
Hinata menengadahkan wajah cantiknya, menelusuri langit jingga kelabu di atas sana. Hari sudah mulai menggelap dan suaminya belum juga menjemputnya.
Suami, ya?
Hinata menatap jemari tangan kirinya, tepatnya pada jari manis yang telah tersemat cincin emas, cincin pernikahannya dengan Garaa. Wanita itu tersenyum kecut.
Seharusnya kaulah yang datang menjemputku sepulang kau kerja, Naruto-kun ...
Seharusnya kaulah yang menjadi suamiku, bukan dia.
***
Naruto adalah seorang lelaki yang pandai membawa diri. Di tengah rasa grogi, ia tampak duduk dengan tenang di hadapan Hiashi. Seorang pria paruh baya berambut coklat panjang yang merupakan ayah kandung kekasihnya itu menatap lurus padanya, seakan sedang menelanjangi seluruh isi pikirannya.
Sedangkan di samping kiri, Hinata duduk dengan gelisah. Sesekali gadis itu terlihat meremas kedua tangannya, mengekspresikan keresahan sekaligus kegugupannya menghadapi tatapan tajam sang ayah pada kekasihnya.
"Jadi, apa tujuanmu datang kemari, Anak muda?" tanya Hiashi, membuka percakapan, mencipta suasana semakin mencekam.
Naruto menunduk hormat terlebih dahulu sebelum berucap, menunjukkan sopan santunnya pada orang tua.
"Mohon maaf sebelumnya, Hiashi-sama. Tujuan utama saya datang kemari adalah untuk meminta izin sekaligus restu dari Anda, saya ... saya ingin meminang putri Anda menjadi istri saya." Ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Hiashi, pria paruh baya itu menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Naruto, tangannya ia lipat di depan dada, tatapannya masih saja lurus pada pemuda itu. Seakan mengabaikan keberadaan putrinya yang juga duduk di hadapannya.
"Hm? Melamar Hinata? Lalu, kenapa kau datang seorang diri? Ke mana orang tuamu?" tanyanya bertubi-tubi dengan pandangan menyelidik.
"Saya di sini tinggal hanya berdua dengan nenek saya, Hiashi-sama. Itu pun kami tidak tinggal serumah. Kedua orang tua saya ... mereka berada di Kanada, tempat kelahiran saya." Jawab Naruto dengan setenang mungkin.
Hiashi mengerutkan keningnya, "Kau bukan orang Jepang?"
Sebenarnya sudah dari awal Hiashi menerka jika pemuda di depannya ini bukan orang Asia, mengingat warna rambut serta matanya yang berbeda dari kebanyakan penduduk asli negaranya. Yah, meskipun aksen dan logat bahasa Jepang pemuda itu tak perlu ia ragukan.
"Kebetulan nenek, ibu dari Mama saya adalah asli penduduk sini, Hiashi-sama." Naruto tersenyum sopan ketika menjawabnya. Sedangkan Hiashi mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise✔
RomancePrequel 'Mine' . "Ketika janji tercipta untuk diingkari." . Aku sungguh mencintaimu, Naruto-kun ... Tiada satu pun lain yang mampu memasuki hatiku selain dirimu Meskipun kutahu perlahan kau akan menghilang dan pergi dariku Tapi ... Kau, hanya kaulah...