Chapter 2 : Langit Jingga

4.7K 470 35
                                    

Langit yang menjingga di ufuk barat membuktikan bahwa seberat apapun, hari ini tetap bisa berakhir indah.

(Langit)

🍀🍀🍀

"Buat sementara, tolong lo handle dulu ya urusan di Jakarta." Langit menempelkan ponsel ke telinganya dengan tangan kanan, sementara itu, tangan kirinya ia selipkan ke dalam saku jeans.

"Gampang, Bro. Udah, lo liburan aja sono, rileks, santai. Sepet mata gue lihat lo uring-uringan terus di kantor." Suara seorang lelaki terdengar dari ujung telepon.

Langit tertawa kecil. Sebenarnya ia bukan tipe bos yang sering uring-uringan di kantor. Hanya saja sejak beberapa bulan terakhir, dirinya memang menjadi lebih workaholic, dan itu rupanya berdampak pada anak buahnya. Lelaki itu bekerja tanpa mengenal waktu, selera humornya memudar, ia bersikap terlalu serius. Hal inilah yang membuat Doni, sahabat sekaligus partner kerjanya, khawatir dan memaksa Langit untuk mengambil cuti berlibur.

"Thanks, Bro. Gue titip kantor ya."

"Don't worry. Proyek-proyek kecil bisa gue tangani bersama teman-teman. Lo lupakan dulu urusan kantor. Jalan-jalan sana cari cewek baru, biar lo cepet waras lagi. Gue butuh lo kembali prima ngerjain proyek besar bulan depan."

"Sialan, lo! Ya udah, gue cabut dulu." Langit tertawa sembari menggaruk dahinya yang tidak gatal. Setelah menutup teleponnya, ia melanjutkan langkah menuju pesawat yang akan membawanya ke Semarang.

"Selamat sore, boleh saya lihat boarding pass-nya?" tanya pramugari, sesampainya ia di pintu masuk.

Langit merogoh saku jeans-nya, mengambil selembar kertas dari dalamnya, kemudian menunjukkannya pada wanita berseragam biru di hadapannya. Pramugari tersebut mengangguk, tersenyum, dan mempersilakannya menujut tempat duduk.

Lelaki itu segera menyusuri lorong, kemudian berhenti di deretan kursi bernomor dua puluh delapan. Ia lantas membuka bagasi kabin dan memasukkan ranselnya ke sana.

"Saya bantu, Bu?" tawar Langit saat melihat seorang wanita paruh baya yang menunggu tepat di belakangnya. Tangannya menenteng koper kecil yang juga siap dimasukkan ke bagasi.

"Terima kasih, Dik," balasnya sembari tersenyum.

Setelah urusan bagasi selesai, Langit masuk dan duduk di kursinya. Ia memang sengaja memilih seat di samping jendela agar bisa tidur. Proyek terakhir yang ia kerjakan membuatnya begadang selama berhari-hari. Bahkan saking lelahnya, ia juga sempat tertidur selama dua puluh menit di mushola bandara setelah salat ashar. Untung saja rasa lapar membangunkannya, sehingga ia masih sempat makan dan tidak ketinggalan pesawat.

Lelaki itu melirik ke kiri, wanita yang beberapa saat lalu ditolongnya, kini sudah menduduki kursi di dekat lorong. Sementara itu, kursi tengah masih tampak tidak berpenghuni. Entahlah, mungkin saja memang kosong, atau penumpangnya belum datang. Langit tidak ambil pusing. Ia memilih menyandarkan tubuh, menurunkan topinya hingga menutupi sebagian wajahnya, melipat kedua lengannya di depan dada, kemudian memejamkan mata.

Hingga tiba-tiba sebuah benda, yang entah apa, menghantam wajahnya. Tidak terlalu keras sebenarnya. Namun, itu saja cukup membuat ujung hidungnya terasa berdenyut dan topinya terpelanting entah kemana.

"Aduh, maaf. Saya nggak sengaja."

Kini, tidak hanya hidungnya yang terasa nyeri. Kepalanya juga mendadak pening saat samar-samar mendengar suara yang begitu familier di telinganya. Lelaki itu lantas membuka mata dan menoleh ke asal suara, sambil merapal doa agar tebakannya salah.

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang