Chapter 5 : Jam Pasir

4.4K 449 76
                                    

Kamu dan aku adalah dua orang asing yang sama-sama menyimpan luka. Lalu, di penghujung hari, kita saling bertukar cerita dan kemudian tertawa bersama.

(Langit-Jingga)

🍀🍀🍀

Jingga mengamati gerak gerik Langit yang sedang berjalan beberapa langkah di depannya. Kamera DSLR yang sejak tadi tergantung di pundak kiri lelaki itu, kini sudah berpindah ke tangannya. Sesekali, ia membidikkan kameranya ke arah obyek yang dirasa menarik. Pak Tua pedagang kacang rebus yang sedang terkantuk-kantuk menunggu pembeli, gelembung sabun yang beterbangan ditiup angin, dan ....

"Heh, calon istri," ujar lelaki itu, tanpa menoleh.

Langkah Jingga sontak terhenti. Ia menggigit bibir bawahnya, kedua pipinya terasa memanas. Gadis itu tidak menyadari seberapa merah wajahnya saat mendengar Langit memanggilnya dengan sebutan 'calon istri'.

"Kalau kamu nggak mau mereka curiga, lebih baik jalan di sebelah sini." Langit memberi isyarat pada Jingga untuk berjalan sejajar dengannya.

"Ha?"

Langit menoleh dan membidikkan kameranya pada Jingga, berpura-pura mengambil gambarnya.

"Mereka masih melihat ke arah kita tuh," ujarnya lagi, sambil menatap Jingga dari balik lensa.

Jingga menoleh sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Langit benar, pasangan itu masih berdiri menatap mereka dari depan galeri. Cinta bahkan melambaikan tangannya ketika melihat Jingga menoleh. Lambaian tangan itu dibalas Jingga dengan kikuk.

Ini sungguh di luar dugaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini sungguh di luar dugaan. Ia sengaja jauh-jauh ke Semarang untuk mencari tahu tentang wanita yang telah membuat tunangannya berpaling. Namun siapa sangka? Saat ini yang dia lakukan justru membalas lambaian persahabatan dari wanita yang telah membuat tujuh tahunnya terbuang sia-sia.

Ada nyeri yang menyusup ke dalam hati Jingga saat melihat wanita itu merangkul lengan lelaki yang ia cintai. Rasanya seperti dipaksa menelan serpihan-serpihan kaca. Perih. Menyakitkan. Dulu, dirinyalah yang berada di posisi tersebut.

Jingga segera mengalihkan pandangan sebelum air matanya tumpah. Gadis itu mempercepat langkah hingga posisinya kini sejajar dengan Langit. Sedikit ragu, ia mengikuti lelaki tersebut menyusuri jalanan di sekitar bangunan-bangunan tua di Kota Lama.

"Udah, nggak usah ditahan lagi. Menangis saja kalau ingin menangis. Kita sudah berjalan cukup jauh, mereka nggak akan bisa melihat kita," ujar Langit tiba-tiba. Sementara itu, tangan dan matanya masih asik membidik objek-objek menarik di sekitar mereka.

"Idih, siapa yang mau nangis? Lagian, ngapain juga nangis?" Jingga tertawa dengan ekspresi yang dibuat-buat.

Namun, sejurus kemudian ia menghentikan langkah. Nafasnya memburu, tangannya mengepal, tubuhnya gemetar. Ia berusaha menahan tangis yang sedari tadi dihalaunya hingga menyesakkan dada.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear, YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang