Monna menatap jam dinding yang ada di dinding sebelah kanannya. Pukul 3 pagi. Apa yang mereka bicarakan dari tadi sehingga waktu terasa lebih cepat?
Monna menaiki tilamnya, dan menaikkan selimut biru menutupi tubuhnya. Monna berbalik, menatap Nessa yang mematung di pintu kamar mereka sambil menatapnya dengan datar.
"Apa?" tanya Monna sayu, dari tadi ia sudah susah payah menahan kantuknya.
Nessa menggeleng, menyusul Monna ke tilam miliknya. "Apa kau tahu sesuatu, Monna?" tanyanya.
"Apa itu penting? Karena aku sudah sangat mengantuk sekarang." jawab Monna agak ketus sambil menguap.
"Bagiku iya, bagimu tidak." jawab Nessa sambil berbalik memunggungi Monna. Monna menatap punggung Nessa aneh, lalu mulai menutup matanya.
👑👑👑
Pagi hari yang berawan, Monna membuka matanya, melihat tilam Nessa berantakan, dan sang pemiliknya sudah tak tahu kemana. Monna menguap sambil meregangkan tubuh, lalu duduk di pinggir tilam sederhananya.
"Kebiasaan, bangun pagi langsung sarapan, harusnya ia merapikan tilamnya dahulu." gumam Monna kesal. Dia merapikan tilamnya terlebih dahulu, lalu berbalik dan melipat selimut yang terbuat dari kain perca yang dijahit seadanya.
Tiba-tiba, mata Monna menangkap sebuah bekas air yang entah kenapa bisa ada di bantal milik Nessa.
"Nessa minum air di kasur?" monolog Monna. Monna menyimpan pertanyaan itu dahulu, nanti ia akan tanyakan pada Nessa.
Setelah tilam Nessa rapi, Monna keluar kamar menuju ruang keluarga yang merangkap menjadi ruang tamu juga. Tampak Nessa sedang sarapan sambil membaca koran pagi.Monna mengambil jatah makan paginya, lalu duduk disamping Nessa. "Nessa, apa kau membawa air putih ke kamar?"
Nessa menoleh, dengan mata bengkak. "Ah, tidak. Kau tahu kan kalau aku tidak pernah membawa makanan atau minuman ke kamar?"
Monna menatap mata Nessa menyelidik. "Kalau begitu, apa kau habis menangis?"
Nessa terkejut, lalu dengan cepat menggeleng kuat. "Ah, ti ... tidak. Hanya perasaan kau saja mungkin."
"Tidak usah menyangkal, Nes. Kau lupa, ya, kalau kau paling tidak jago berbohong?"
Nessa membuang muka, kembali membaca koran pagi, tanpa menyentuh sarapannya yang sisa seperempat porsi.
"Apa ini berhubungan dengan hal yang ingin kau ceritakan padaku semalam? Maaf aku tidak mau mendengarkan, karena sudah terlalu mengantuk." sesal Monna. Nessa bergeming.
"Mungkin, iya." jawaban Nessa membuat Monna berhenti mengunyah. "Tapi, lupakan sajalah."
"Nessa, sejak kapan kita bersahabat??" Monna menarik bahu Nessa, memaksa Nessa memandang matanya. Nessa menunduk, menghindari tatapan Monna yang menusuk.
"Sejak kecil." jawab Nessa yang nyaris seperti bisikan.
"Dan kau lupa, kalau kita tidak menyembunyikan apapun satu sama lain? Kau lupa?" geram Monna, yang membuat Nessa mulai berkaca-kaca. Monna tersadar, emosinya yang meledak-ledak tidak seharusnya keluar saat ini.
"Ma ... maaf." lirih Monna. "Kau mau berbagi cerita itu? Kalau kau tak mau, tak apa. Aku tidak memaksamu."
Monna berjalan pelan ke dapur.
"Tunggu." langkah kaki Monna terhenti, lalu berbalik menatap Nessa.
Dengan cepat Monna duduk di depan Nessa, bersiap menyimak. "Cepat, ceritakan, siapa tahu aku bisa bantu."
Tapi, Nessa menggeleng. "Ini bukan sesuatu yang kau bisa bantu, Mon."
Monna mengangguk, namun agak heran juga."
Nessa menghela nafas dulu sebelumnya. "Begini. Aku ... aku .... Kau janji untuk tidak memberitahu siapapun, termasuk Ben?"
Monna mulai tak sabar. "Tenang saja. Cepat!"
"Aku menyukai Ben." Nessa mengucapkannya dalam satu kali tarikan nafas. Monna tertegun sejenak.
"Iyakah? Lalu kenapa itu membuatmu menangis semalam?"
Nessa menggeleng, lalu dengan cepat menyambar piring makannya dan berjalan cepat ke dapur. Monna hanya memandang langkahnya, bingung.
👑👑👑
Nessa duduk di bangku tempat mereka menunggu Ben semalam. Tatapannya tak lepas dari semak tempat Ben semalam bersembunyi.
Sedangkan Monna menatapnya dari pintu masuk rumah, membiarkan Nessa memiliki waktu untuk sendiri.
Gubrak!!
Monna menoleh kaget ke arah jendela di belakangnya, seseorang tengah terjerembab di bawah meja kayu.
"Siapa disitu? Pencuri?!" tanya Monna dengan nada membentak dengan memasang kuda-kuda.
"Ah, kenapa kau selalu berpikiran buruk tentangku?" suara itu begitu familiar di telinga Monna. Dia menurunkan tangannya yang tadinya berjaga-jaga.
"Ben!" pekik Monna kesal. "Kenapa kau selalu saja datang dengan cara yang tidak sopan?"
Ben menutup mulut Monna yang bersiap mengoceh sesuatu yang lebih pedas lagi. "Diamlah, cerewet. Aku hanya ingin mengagetkanmu. Senang sekali membuatmu marah seperti itu, wajahmu tambah menarik."
Monna menepis tangan Ben dari wajahnya. "Sudah tidak sopan, senang berbohong pula. Kau ini calon orang yang tidak mungkin mempunyai seorang ratu!"
Ben tersenyum aneh. "Iyakah? Apa kau juga tidak mau menjadi calon ratuku?"
"Bicara apa kau ini, aku ini seorang rakyat biasa, kau seharusnya menikahi putri-putri dari kerajaan sebelah. Bodoh." Monna agak tersipu dengan perkataan Ben.
Ben mengernyitkan dahi. "Memangnya ada peraturan kerajaan yang mengharuskan aku menikahi seorang putri? Aku bebas menikahi siapapun, mau putri ataupun gelandangan."
Monna membuang muka, menuju dapur. Langkahnya diikuti Ben.
"Dasar penguntit." Monna mengumpat sekecil mungkin.
"Aku dengar, sayang." goda Ben dengan nada menyebalkan.
Monna mengedikkan bahu. "Kau sudah makan?"
"Belum." sambarnya cepat.
"Baiklah, aku akan memasakkan sarapan untukmu. Tunggu dan diam saja di kursi itu." perintah Monna sambil menunjuk kursi di tengah ruangan. Ben mengangguk patuh, duduk dan bertopang dagu memandangi Monna yang mengambil bahan-bahan dapur.
5 menit kemudian, Monna merasakan sesuatu yang menggelitik tengkuknya.
"Lama sekali? Masak apa, sih?" bisik Ben di telinga Monna.
"Sudah kubilang duduk disana!" seru Monna sambil berbalik, dan menunjuk kursi tempat Ben duduk tadi.
"Tidak mau."
"Atau kutumpahkan masakan ini ke wajahmu."
"Aku tahu sekesal-kesalnya kau padaku, kau tidak mungkin berani menyiram itu ke wajahku."
Monna berdecak kesal, memilih untuk berbalik dan melanjutkan masakannya.
"Calon ratu yang rajin. Bukan begitu?" Ben belum puas menggoda Monna. Dia mungkin lupa dengan spatula di tangan Monna.
"Berisik."
"Awas gosong. Kalau gosong, aku akan memaksamu memakannya."
"Aku sudah pandai memasak, tidak seperti kau yang hanya bisa merengek minta makan seperti bayi."
"Monna aku ...."
PRANG!!
Monna dan Ben serempak menoleh.
"Nessa ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Outcast Princess
FantasyGenre : Fantasy-Romance Date : 14 Okt 2017 Dalam dongeng kebanyakan, sang putri lahir dan hidup di sebuah desa dengan keadaan biasa biasa saja, sampai pada akhirnya takdir mempertemukan mereka dan membuat mereka saling jatuh cinta, lalu mereka akhir...