III

14 3 4
                                    

Makasih yang udah kritik, saran, vote, sama komen cerita absurd ini. Gue hargain, tapi karena gue kebiasa pake bahasa baku kalo bikin cerita, biasanya kayak TeenFic yang pake lo-gue-end gitu. Jadi ... masih pembiasaan. Keep supporting my story ^-^
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bibir Nessa bergetar, ingin berkata namun tak sanggup. Ben menaikkan alisnya kebingungan, namun ikut menghampiri Nessa bersama Monna.

"I ... ini gak seperti yang kamu lihat, Nes." ucap Monna dengan wajah pucat. "Kita gak berbuat apa-apa."

Nessa mengangguk cepat, buru-buru duduk di kursi, menatap Monna agak sinis.

"Memangnya ada apa? Kenapa?" tanya Ben agak bingung. "Kenapa kau dramatis sekali, Nes."

Monna membuka mulut, hendak memberitahu Nessa bahwa ia menyukainya, namun ia teringat janjinya untuk tidak membocorkannya pada siapa-siapa. Dia akhirnya berjongkok, membereskan pecahan gelas.

"Sini, biar aku saja." Ben menepis tangan Monna dan membereskan pecahan gelas itu.

Nessa tersenyum getir. "Aku tak apa-apa. Aku tadi hanya keseleo saja, haha."

Ben tidak percaya sama sekali. Namun dia diam saja, dan lanjut membereskan pecahan gelas yang masih tersisa.

Monna tak tahu harus apa, dia diam saja, memandang Nessa yang menggertakkan giginya diam-diam.

Suasana dapur hening ketika Ben keluar dapur untuk membuang sisa pecahan gelas.

"Monna." tubuh Monna menegang.

"I ... iya."

"Aku tidak percaya kau melakukan itu dengan Ben, setelah apa yang aku katakan tadi pagi." geram Nessa.

"Itu ... itu tadi Ben yang dahulu menghampiriku!" entah kenapa Monna kehabisan kata-kata.

"Kau cemburu, ya?" Tuduh Ben terang-terangan, sambil tersenyum sinis.

"Tidak!" Sambar Nessa cepat. "Aku ... hanya terkejut, itu saja."

Ben keluar ruangan tanpa bicara apa-apa lagi, langkah kakinya ditatap oleh Monna dan Nessa.

Nessa menggamit tangan Monna, "Apa yang telah kau lakukan?"

Monna yang tidak terima disalahkan, mulai menatap Nessa tajam. "Itu semua salah Ben. Aku hanya memasak sarapan untuknya, dan dia memintanya!"

Nessa menggenggam erat tangan Monna, membuat Monna sedikit meringis. Namun Monna menarik tangannya, melepaskan tangannya dari cengkeraman Nessa.

"Terserah kau mau anggap aku bersalah atau tidak, silahkan berpikir sendiri." Monna keluar ruangan, menuju beranda rumah.

Kemana Ben? Batin Monna sambil menyapu pandangan ke seluruh lingkungan rumahnya. Ia melangkah keluar rumah, berniat mencari Pangeran sialan itu.

Krak! Monna mengangkat kakinya, sebuah gulungan kertas muncul dari balik kakinya. Monna segera mengambil kertas berpita merah, di simpul secara asal-asalan.

Monna membukanya;

Aku pamit dulu. Kau urusi sahabatmu yang terbakar api cemburu itu. Lusa aku akan datang kembali ke rumah kalian, membawa seorang sahabat dekatku yang lain. Bye.

Kecup hangat,
Ben yang tampan.

Monna bergidik, membaca surat Ben yang menyebalkan. Ia meremas-remas surat itu hingga menjadi gumpalan kertas kecil, lalu melemparnya ke sembarang arah.

"Aduh!" Suara bisikan seseorang membuat Monna menoleh kebelakang. Siapa lagi kalau bukan Ben?

"Omong kosong kau sudah pamit pulang ke istanamu." Cibir Monna pada Ben yang menatapnya kesal.

 The Outcast PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang