IV

21 4 2
                                    

Oh iya lupa kasi tau
Cerita ini tiap partnya itu kejadian selama sehari. Ngerti gak?
Jadi kalo sehari itu gak ada kejadian apa apa, yaudah cuma 1 atau 2 paragraf aja
Tapi biasanya kalo kayak gitu gue sekali upload bisa banyak, tergantung udah berapa kata gue ketik, oce?
================================

Kemana anak itu? Pikiran itu masih menghantui pikiran Monna selama pagi ini. Pagi pagi, ia tidak menemukan Nessa di tilamnya, atau di dapur, atau di ruang keluarga, atau dimana pun!

Kurang lebih sudah 3 jam lamanya Monna bertanya ke tetangga, apakah salah satu dari mereka melihat kemana perginya Nessa. Dan mereka semua menggelengkan kepala sambil bertanya, "Memangnya Nessa tidak memberi kabar apapun padamu?"

Aneh memang, sejak dulu, jika mereka memiliki masalah yang membuat mereka saling diam satu hari penuh atau lebih, tidak ada yang pergi tanpa kabar seperti ini.

Moodnya memburuk saat itu, bahkan ia tidak memasang senyum manis sedikit pun hari ini.

Dan moodnya tambah buruk ketika Ben yang berkunjung dengan cara yang menurut Monna SANGAT mengganggu

Ben datang, menyamar sebagai pengemis desa yang meminta sumbangan dari pintu ke pintu

Tok tok tok!

Dengan wajah datar Monna melangkah ke pintu, lalu berdiri sebelum membuka pintu.

"Siapa disana?" tanya Monna was was.

"Saya minta sumbangan, barang beberapa keping uang, Nak ..." ucap seseorang dibalik pintu dengan lirih. Monna merogoh sakunya dan menemukan 2 keping uang perak (1 keping uang perak disini sama kayak 2000an di Indo).

Begitu Monna membuka pintu, hendak memberikan 2 keping uang itu, secara spontan dilemparnya uang itu ke wajah yang tersenyum jahil itu.

"Dasar kurang kerjaan!" Sembur Monna diikuti umpatan kasar lainnya, yang diterima Ben dengan wajah kalem.

"Hai sayang, lama tak jumpa." Ben menyapa Monna seperti biasa, tanpa peduli dengan Monna yang menatap Ben dengan tatapan membunuh.

Monna berbalik menjauhi Ben, dan tanpa dipersilakan Ben melangkah mengikuti Monna.

"Kau membuat moodku makin memburuk saja." Monna menghempaskan diri di atas kursi rotan, mengacak-acak rambutnya.

Ben duduk disebelahnya, memberikan Monna sebuah pelukan. "Banyak orang bilang, sebuah pelukan hangat bisa membuat perasaan lebih tenang."

Monna menghela nafas, berpikir bahwa menentang ucapan Ben itu tidak berguna. Dia membiarkan Ben memeluknya sambil mengusap-usap pelan punggung Monna.

"Nessa hilang." Ben terenyak ketika Monna berkata demikian.

"Serius?"

"Buat apa aku membual?"

Suasana hening sejenak, kemudian Ben berkata, "Mungkin dia butuh waktu sendiri, biarkan saja dia pergi menenangkan diri, kita bisa berjalan-jalan berdua selayaknya sepasang kekasih."

Monna menepuk dahinya.

👑👑👑

"Aku sempat ragu sebentar, kau itu pangeran sungguhan atau hanya akal-akalanmu saja?" Sembur Monna pada Ben yang sedang memanjat pohon apel, mencarikan buah termanis untuk Monna.

"Kenapa kau bertanya begitu?"

"Aku tidak pernah melihatmu sibuk dengan urusan kerajaan, seperti berpidato tidak jelas, berkunjung ke daerah terpencil, atau bertamu dan minum teh dengan kerajaan tetangga." Monna melempar kerikil ke danau yang airnya tenang. "Kau malah nampak seperti anak kecil yang tidak punya tujuan hidup."

Ben tertawa renyah. "Setidaknya aku masih bisa bersenang-senang, ekhm, terutama dengan kau, sebelum aku menjadi Raja, dan tidak bisa bertemu denganmu lagi." Ben mengusap apel hasil petikannya ke kausnya, lalu mengantunginya. Ia melompat turun dan duduk di samping Monna. "Mau?"

Monna menerima apel ranum itu, lalu menggigitnya kecil. "Ketika kau menjadi Raja, kau pasti akan jarang bertamu ke rumahku, menggodaku dengan rayuan basi itu, mengejekku Nona Cerewet, dan menghabiskan masakanku lagi. Berat kukatakan, aku pasti akan rindu itu."

"Lalu, jadilah Ratuku." Ben menyenggol siku Monna, merayunya lagi. "Kau akan selalu ada disisiku, bahkan satu kamar denganku." Ben mengedipkan sebelah matanya nakal.

Pipi Monna memerah malu. "Apa apaan itu? Tidak!"

Suasana hening, mereka berdua memusatkan perhatian pada dua angsa yang berenang anggun di permukaan danau yang tenang. Kedua angsa itu menyatukan kepalanya, dan membuat simbol hati diantara lehernya.

"Aku serius." Suara Ben membuyarkan lamunan Monna tentang angsa.

"Aku juga serius. Pangeran harus menikah dengan Putri, bukan dengan rakyatnya." kilah Monna sambil menggigit apel.

"Salah." sambar Ben. "Itu hanya dalam garis besar."

Monna berhenti mengunyah apel. "Maksudmu?"

Ben menoleh ke kanan dan kiri, memastikan keadaan. "Kau tidak boleh memberitahu siapapun, ini adalah rahasia."

Karena penasaran, Monna langsung mengangguk.

"Setiap keturunan kerajaan, memiliki kekuatan tersendiri." Ben memulai ceritanya.

"A ... Aku masih tidak mengerti." Ucap Monna.

"Setiap anggota kerajaan sepertiku, Gio, atau orangtuaku, dan keluarga kerajaan sebelah, memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Gio, adikku memiliki kekuatan telekinesis, kau tahu kan, apa itu telekinesis?"

Monna mengangguk pelan, "Ya, aku tahu, tapi setahuku, kekuatan semacam itu hanya ada dalam dongeng-dongeng."

"Itu adalah rahasia dalam keluarga kerajaan, tidak banyak rakyat biasa yang tahu, bahkan pekerja istana pun belum banyak yang tahu." Ben menatap mata Monna yang berkilat penasaran, mata hazelnya menatap Ben lekat, seperti memandang sesuatu yang ajaib.

"Lalu, apa kekuatanmu?" tanya Monna.

"Air." jawab Ben.

"Tunjukkan padaku!"

"Lain waktu, oke?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

 The Outcast PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang