P-07

1.4K 124 2
                                    

Ajakan jalan Kak Seno membuat kepalaku terasa pening. Ku pijat pelipisku berulang kali hingga sampai di sebuah pintu masuk yang diatasnya bertuliskan Finance and Accounting Departement-tempat kedua terakhir yang harus ku datangi.

Ruang divisi ini berukuran setengah dari luas ruang divisiku. Berdesain lebih sederhana, dan hanya terdiri atas enam meja yang membelah jalan menuju sebuah ruangan yang pastinya adalah ruang Pak Soman- manager keuangan perusahaan kami.

Kak Lay beranjak dari kursinya dan menghampiriku. "Kamu ngapain disini dek?"

"Pak Soman ada?"

Kedua alis Kak Lay menyatu, "Ngapain kamu nyari dia?"

Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Segera ku tunjukkan padanya proposal pengajuan dana seminar akhir tahun yang tadi dititipkan Mbak Rindu padaku ini.

"Sudah mendapat persetujuan Pak Min, tinggal minta persetujuan dari Pak Soman." jelasku singkat, sebab tidak nyaman diperhatikan mendetail oleh empat pasang mata lain.

Makanya seluruh karyawati enggan masuk ke dalam departemen ini. Lah penghuninya cowok jelalatan semua, mana hobinya nidurin cewek pula. Kecuali Tao yang banci, dan Kak Lay yang telmi. Tapi meski begitu, morfologis mereka tetap saja masih dilengkapi pedang.

"Pak Soman lagi keluar, gak tau balik kapan. Tapi kalau masalah ini, aku yang biasa ngehandle. Sini!" dia ambil berkas itu dari tanganku dan setelah membacanya, dia tandatangani berkas itu dengan bolpoint yang terselip dalam saku kemejanya.

"Quesionernya boleh saya bagikan sekarang, Pak Lay?" tanyaku memastikan.

"Loh kamu kok manggil Abang gitu sih?! Abang kan kakak kamu! Bukan bapak kamu! Apa kamu lupa bapak kita itu namanya Pak Slamet?"

Aku langsung nepok jidat.

"Ini di kantor Pak Lay! Anda atasan saya, sebagai bawahan saya harus memberi awalan Pak saat mengucapkan nama anda." jelasku greget.

"Oh iya, ya. Formalitas panggilan di kantor yah!"

Nah tuh ngerti!

"Loh! bukannya kamu staffnya Doni, yah? Kok sekarang kamu ngerjain tugas staffnya Mas Gusti sih?" tanyanya kaget sendiri.

"Tugas kita agak longgar, Pak! Berhubung Felix sakit, tugas Mas Gusti jadi keteteran. Jadi Mas Doni ngizinin aku yang masih pegawai baru buat bantuin dia."

Udah ah capek ngeladeni Kak Lay mulu.

Buru-buru ku bagikan sisa eksemplar yang ada ditanganku, dan setelahnya aku segera pamit undur diri. Namun sebelum itu Kak Lay mengingatkanku untuk minta maaf dan melengkapi tanda tangan pada proposal seminar ini dengan tanda tangan kepala penanggung jawab Myeon Green Food- CEO-MG Green Food.

Gak perlu diingatkan juga aku pasti ingat, kan aku nggak sepikun dia. Aku juga harus ngasih quesioner yang tinggal selembar ini buat beliau.

Lagian minta maaf apaan?

Buat apa?

Ke siapa?

Ngelindur kali yah.

Saat akan memasuki ruangan yang minimal lebih pantas ditempati Kak Seno-selaku anak tunggal pemilik Myeon Grup (MG), aku berdiri cukup lama disana. Segera ku rapikan penampilanku. Aku tak ingin mengecewakannya sedikit pun dari segi kinerja maupun penampilan.

Karna apa?

Akan ku ceritakan sedikit saja;

Saat melamar kerja ada banyak tes yang mengasah IQ, tapi hanya ada satu tes yang mengedepankan EQ, yaitu interview.

Nah pada saat itulah aku yang diwawancarai dalam sebuah ruang kedap suara dengan kaca satu arah yang membatasi diriku dan sang CEO-jadinya aku tidak tau seperti apa muka dia hingga sekarang. Yah penasaran lah siapa beliau, orang kepercayaan orangtua Kak Seno ini. Pasti usianya sudah masuk kategori bangkotan, punya istri dan anak, serta kepalanya botak.

Karna pernah berinteraksi pada saat itulah, dia meminta Kak D.O-selaku bagian HRD rekrutment, dan dengan alasan logis yang memang disetujui oleh semua pihak termasuk Kak Xiumin, manager HRD- untuk menempatkanku di departemen HRD ketimbang di departemen Logistik.

Hanya ku ketuk sekali, pintu ruangan itu langsung terbuka dengan sendirinya.

Wih canggih banget!

"Masuk," ucap sebuah suara membuyarkan ketakjubanku.

Begitu korneaku berhasil menangkap cahaya sehingga mampu merefleksikan wajah pemilik suara barusan. Tak ada kata tua, buncit, botak yang dapat mendeskripsikan dia. Yang ada malah sebaliknya. Muda, tampan dan mempesona. Tapi kakiku mendadak lemas tak dapat digerakkan saat bersitatap dengannya.

Pasti cuma kebetulan dia ada dalam ruangan ini. CEO disini kan orang yang memiliki segudang prestasi dan mumpuni. Sudah pasti telah berumur hampir setengah abad-mungkin. Sebab diusia segitulah orang telah banyak memakan asam garam kehidupan sehingga berpengalaman dan dapat dipercaya.

"Kamu kok disini?" tanyaku.

Dia smirk sok keren padaku, lalu mengambil tempat berdiri disisiku dan berbisik, "Kita duduk dulu."

Ku turuti saja ajakannya. Namun baru saja duduk, mataku melotot dibuatnya.

"Kamu kok duduk disitu?" sergahku tak suka.

Mentang-mentang yang punya ruangan gak ada seenaknya saja dia.

"Ini memang ruangan saya, Nona Seruni." jawabnya santai.

Kalau yang punya ruangan ini dia, berarti CEO disini itu dia dong.

Omo!

Ini bukan acara Super Trap, atau semacam acara uji nyali, kan?
Sumpah gak lucu banget! Aku beneran pengen lambaikan tangan ke kamera, tapi gak nemu-nemu diletakkin dimana.

"Lah emang usia kamu berapa?" ucapku kontan tak percaya. Ini tidak mungkin. Mustahil. Impossible.

"31."

Hah! Kok masih bening gini? Mana kalau bersanding sama aku kayak aku ini tantenya lagi.

Pasti pakai susuk nih orang!

Pantas saja tadi di departemen keuangan aku hanya lihat Kris doang, ku kira dia sakit kayak Tao tapi surat izinnya nyusul belakangan. Sekarang aku juga tau pada siapa Kak Lay menyuruhku minta maaf. Kan kemarin yang aku kacangin waktu ngajak ngomong di kantin itu dia.

Lukas.

"Saya benar-benar minta maaf atas ketidak sopanan saya barusan." cicitku takut-takut.

Lukas hanya tertawa, tak berkomentar apapun. Dia kemudian membaca seluruh berkas yang ku letakkan asal-asalan diatas meja beberapa menit yang lalu sebelum kebenaran terungkap.

Ahhhh... Tenggelamkan saja aku ke rawa-rawa sekarang juga.

"Saya terima permintaan maaf kamu, asalkan kamu mau mentraktir saya saat kamu sudah mendapatkan gaji pertamamu, Bagaimana?" celetuknya.

"Hah?"

Otakku secara otomatis langsung mengkalkulasi dengan sendirinya segala macam kebutuhanku serta sejumlah uang yang bakal ku keluarkan untuk mentraktir orang semacam Lukas.

Untung masih sisa.

Tapi?

Aku kan juga udah janji bakal traktir Kai dan gengnya.

Ampun, gimana nih?

"Bercanda," ucapnya didetik berikutnya sembari menyerahkan proposal yang sudah dia setujui dengan dibubuhi tanda tangan berharganya.

Ku hembuskan nafas lega. Namun saat aku hendak mengambil lembar quesioner, dia menahannya, "Tapi sepulang kerja nanti kamu harus makan malam dengan saya. Tenang, saya yang bayar."

Ngipi apa yah aku semalam?

Bersambung

19-10-17

Uni-ah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang