P-12

1.4K 82 5
                                    

Aku menopang dagu sembari satu tangan yang lain memutar-mutar garpu dalam mangkuk dihadapanku yang masih penuh berisi samyang. Agak tak  berminat untuk menyantap makanan seperti beberapa saat yang lalu.

Tapi lama-lama juga habis sih, namanya juga lapar. Meski galau kebanyakkan bikin masalah, ngapain juga nggak nafsu makan sampai kelaparan. Sempet heran juga kalau lihat orang sampai kayak gitu. Kan nggak guna banget. Lagian, kayak begitu juga nggak bakal bisa balikin keadaan seperti semula.

Yah, nggak munafik sih. Aku juga sempet ngerasa ingin ngelakuin itu setelah mencerna nasehat Hyun dan Shema yang terputus oleh telpon singkat dari Tatyana—pacar Hyun, serta kehadiran Chiko mengembalikan Vivi yang telah terlelap dipelukannya kepada sang pemilik kucing betina itu, yaitu Shema.

Ku kira mereka akan kembali menginterogasiku setelahnya. Namun yang ada, mereka malah ganti asyik bermain PS. Mengabaikanku hingga Kai dan Chiko muncul membawa sepanci samyang dengan berbagai peralatan makan lainnya.

Aku tahu. Mereka pasti kecewa dengan tindakan kekanak-kanakanku memanfaatkan Kak Seno demi mengisi kekosongan hatiku yang rapuh akan Kak Cendra. Aku juga nggak menyangka kalau aku bakal ngambil tindakan sesembrono ini.

Yah, mau bagaimana lagi. Nasi sudah jadi bubur. Tinggal kasih micin, ayam, kecap, saus tomat, dan sambal, beres deh jadi bubur ayam. Pasti lumayan. Apalagi kalau dimakan sama opor juga, pasti makin enak.

Tuh kan aku mulai ngelantur garing.

"Segitu nyeselnya yah kamu?" sahut sebuah suara yang seketika membuatku jantungan saat memalingkan wajahku ke arahnya.

"Bang Sen kok bisa ada disini?" tanyaku heran. Karna kayaknya aku nggak dengar ada orang masuk, deh. Entahlah, mungkin aku aja yang kebanyakan ngelamun sampai nggak sadar ada orang masuk.

"Seharusnya aku yang tanya begitu," sahutnya sembari mendudukkan diri disampingku.

Iya, juga. Terserah dia mau kesini kapan saja. Dia kan cicit yang punya rumah.

"Jadi... kenapa kamu ada disini malam-malam begini sendirian?"

"Bukan... lebih tepatnya, kenapa kamu yang masih makai baju seperti ini berduaan sama seorang pria yang bahkan masih anak SMA?" koreksinya. Sebelah alisnya terangkat penuh curiga.

Kampret! Orang-orang pada ilang kemana sih, kok sepi banget. Kak Lay yang tidur meluk si Shaun di sofa juga udah nggak ada. Malah ganti Hyun yang tidur cuma pakai boxer disana. Bikin Kak Seno mikir nggak-nggak, kan?

"Aku nggak berduaan sama Hyun kok!" bantahku, "Tadi ada Chiko, Kai, Shema sama Vivi. Kak Lay ada juga malahan. Beneran!"

"Oh!" Kak Seno menoleh ke kanan kiri agak tidak percaya, "Terus, apa yang kamu lakuin disini hingga selarut ini?"

"Nginap, Bang."

"Nginap? Ini nggak kamu banget loh, Ni?! Kok nggak ganti baju dulu?"

Mampus! Mesti jawab apa?
Kan nggak mungkin aku ngomong, "Gara-gara nggak tidur sama kamu, Mama ngusir aku."
Lagian dia kok hobi tanya mulu kayak orang sensus. Meski kita sekarang pacaran, harap tetap hargai privasi, dong!

Duh, aku kok jadi sensitif cuma gara-gara dikepoin dikit gini sih?
Ah, mungkin karena aku nggak pacaran sama orang yang ku suka kali.

Menanti jawaban, Kak Seno semakin mengintimidasiku dengan merapatkan tubuhnya kepadaku. Duh, harus cepat putar otak. "Jadi begini, Bang! I—tu... aku—"

"Nggak usah dijawab." selanya.

"Leh, ke-kenapa?"

"Aku nggak mau dengar kamu bohong lagi. Sudah cukup dengan kepalsuan hubungan kita." jawabannya membuat tubuhku kaku seketika.

"Maksud Bang Sen?" tanyaku pura-pura nggak ngerti.

"Aku hanya pelarian kamu saja, kan?!"

Tau dari mana dia?

"Nggak usah bingung aku tau dari mana," lanjutnya. "Karna aku tau segalanya tentang kamu."

"Segalanya?"

"Ya, segalanya..." katanya sembari mengangguk, "Termasuk perasaan kamu ke Cendra."

Wajahku langsung memucat.

Mati aku!

Matanya berubah mengulitiku tajam-tajam. "Dengan kata lain, aku cuma pelarian kamu aja, kan! Orang yang ngisi kejenuhan kamu pada Cendra, kan?"

"I—tu... Anu... Aku nggak maksud gituin, Bang Sen. Hanya aja— " dia mencengkram erat kedua pundakku hingga membuatku memekik kesakitan, "—enghhh."

"Maaf, Bang Sen!" teriakku spontan. Sumpah takut aku!

"Maaf?" bentaknya. "Semudah itu kamu bilang maaf?" Kedua matanya beralih menatapku jijik, "Dasar pembohong! Beraninya kamu manfaatin aku. Apalagi hanya untuk hal konyol yang nggak masuk akal."

Aku menunduk malu dan berucap lagi, entah ada gunanya atau tidak. "Aku minta maaf."

Sungguh, hanya kalimat itu yang ada dihatiku dan mampu terucap, soalnya aku yang memang salah, seratus persen salah— nggak tau lagi mesti ngomong apa. Takut memperburuk keadaan.

Tiba-tiba cengkramannnya meluruh. Kemudian terdengar helaan nafas kasar, "Kita selesai."

Aku nggak salah denger, kan?

"Maksud Bang Sen, kita putus?" tanyaku memastikan. Dia hanya mengangguk dan memalingkan wajah kearah lain.

"Assa." teriakku kesenengan, tapi dalam hati. Mana berani aku ngomong gitu. Yang ada, "Jika itu terbaik bagi kita, aku terima keputusan Bang Sen." jawabku sok dewasa.

"Aku punya satu permintaan lagi, kamu mau kan menuhinnya?" ucapnya sembari meraih kedua tanganku, menggenggamnya.

Canggung. Aku mengangguk. Nggak apalah. Anggap saja hadiah indah terakhir sebelum jadi mantan.

Mata Bang Sen berbinar terang. "Oke! Kalau begitu, kembalikan kalung berlianku."

Mendengarnya, otomatis aku mendongak tak terima, "Apa?"

"Kembalikan kalung berlian ku sekarang juga!" tuntutnya.

Tuh, kan! Aku bilang juga apa. Dia pasti minta kalung berliannya dibalikin.

Dasar pelit!

"Nggak bisa!" ah salah ngomong, "Emb... Maksudku, nggak bisa! Soalnya kata orang dulu, nggak baik kalau barang yang sudah dikasih diminta lagi. Pamali!" saranku. Moga dia terpengaruh.

"Kalau begitu, ganti rugi biaya ngedate kita, gimana? Cuma empat ratus juta aja, kok!"

Empat ratus juta! Cuma?

"Yang ajak jalan kan, Bang Sen."

"Yang manfaatin aku kan kamu." bantahnya balik.

Ah, ganti aja deh dari pada pusing.

Bentar...

Kalau dikalkulasi sama gaji per bulan sebagai pegawai baru,

400.000.000 : 2.500.000 =
160 bulan.

1 tahun = 12 bulan. Berarti aku harus ngangsur ke dia selama... Empat belas tahun, dong?!

Anjrit!

Meski entar jadi pegawai tetap gajiku naik, tapi tetep aja masih sekitar sepuluh tahunan aku harus ngangsur ke dia.

Astaga! Derita rakjel gini banget, sih?! Harus gimana nih? Apa aku balikin aja yah berliannya?
Tapi, aku nggak rela.

"Bisa minta yang lain aja nggak, Bang Sen?" tanyaku memohon. "Apa aja deh, pokoknya jangan uang sama berlian, please!"

Dia tampak berfikir dan kemudian tersenyum penuh misteri yang membuatku was-was. Dan belum sempat aku berkedip, dengan sekali sentakan, dia mendorongku hingga tubuhku jatuh bersamanya diatas sofa.

"Aku mau kamu!"

Bersambung
01-01-2018

Uni-ah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang