Pagi ini Jingga sudah berada di meja makan bersama Senja. Keduanya menghabiskan sarapan bersama, tanpa ada ayah maupun ibu di samping mereka.
"Senja, tiga bulan lagi ada pendaftaran di sekolah abang. Mau mencoba?" tanya Jingga. Seketika saja Senja menatap Jingga dengan binar yang terlihat redup.
"Kalau Senja bisa, Senja mau. Tapi Mama sama Papa? Mustahil, Bang."
"Nggak ada yang nggak mungkin. Kita hanya perlu meyakinkan mereka kalau kamu bisa. Nanti abang bakalan coba bicara sama mereka."
Setelah itu, hening. Jingga pamit untuk ke sekolahnya, sedangkan Senja bersiap-siap untuk home schooling-nya.
🐾🐾🐾
Sesampainya di sekolah, Jingga hanya bisa menghela napas kasar. Ia terus memikirkan perkataannya tadi pagi pada Senja.
Nanti abang bakalan coba bicara sama mereka.
Jingga tertawa sinis. Bicara pada kedua orang tuanya adalah hal yang merupakan pilihan paling akhir di dalam hidupnya. Harus bicara pada orang tua yang tak pernah meluangkan waktu untuk anaknya? Ah, Jingga tak menyukainya. Bukan karena Jingga adalah anak durhaka atau pembangkang. Tapi Jingga punya perasaan. Semenjak usianya berumur tujuh dan Senja berumur enam tahun, keduanya tidak lagi bisa menikmati kehangatan keluarga seperti dulu. Ayah dan Ibunya terlalu sibuk dengan perusahaan dan usaha mereka yang lainnya. Jingga paham jika semua itu untuk dirinya dan Senja, tapi ia tak habis pikir dengan jalan pikiran orang tuanya yang membiarkan mereka diasuh oleh pembantunya tanpa mereka. Apalagi si kecil Senja yang ringkih. Dengan tubuh yang kecil, ia harus melawan penyakit yang bisa membuatnya pergi kapan saja.
Entah sudah berapa kali ia menghela napas kasar di pagi yang cerah ini hingga ia tak sadar jika sudah duduk di bangkunya. Sebuah tepukan di bahu membuat Jingga tersadar.
"Bro, melamun pagi-pagi nggak baik. Kata Mak gue, kalo ada masalah diceritain, jangan dipendam sendiri. Lo punya tiga sahabat ganteng di sini, jadi jangan pernah merasa sendiri." ucap Langit.
"Tumben bijak lo, cicak." ucap Candra sambil menoyor kepala Langit.
"Eh, bobrok. Kepala gue puyeng nanti."
"Lo ada masalah apa, Ngga?" tanya Mars.
Jingga menoleh pada teman sebangkunya itu, tersenyum sejenak lalu menatap ke depan kelas.
"Adek gue, Mars. Gue pengen banget biar dia sekolah di sekolah umum seperti anak-anak yang lain. Tapi orang tua gue ngelarang keras. Gue pengen ngomong sama mereka, tapi rasanya gue selalu marah setiap kali denger suara mereka."
"Jangan egois, Ngga. Senja butuh bantuan lo. Gue yakin lo bisa ngomong sama bokap nyokap lo." ucap Mars.
"Thank's."
🍃🍃🍃
Tadi adalah pelajaran fisika dari Pak Tora. Pelajaran yang membuat satu kelas pening seketika. Bagaimana mau mengerjakan kalau belum dijelaskan?
Tadi juga adalah saat-saat tersial bagi seluruh penghuni kelas 10 IPA 3. Kecuali untuk empat pemuda tampan yang sudah mengerjakan tugas itu. Semuanya disuruh lari mengelilingi lapangan dalam sekolah yang luasnya mampu menampung 700 orang pelajar saat upacara bendera. Sedangkan kelompok galaksi malah duduk enak-enakan karena tidak mendapatkan hukuman. Berterima kasihlah pada Senja yang membuat mereka tidak jadi mendapatkan hukuman juga mendapatkan nilai sempurna dalam buku catatan nilai milik Pak Tora.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Dan Senja
Teen FictionKita menghargai rasa. Namun saling mengelak demi merelakan. Karena semua ini adalah panggung sandiwara. Sekalipun semuanya harus berubah, kenangan itu tidak akan pernah hilang. Karena Langit dan Senja akan selalu terikat. Meski takdir mereka bert...