Perlahan, kelopak mata itu terbuka. Cahaya mentari yang menyusup dari sela-sela gorden membuat wajah Senja yang sedikit berkeringat itu bercahaya. Senja melenguh, merasakan dinginnya oksigen di mulut dan hidungnya. Tatapannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan putih itu, dan Senja pun ingat, apa yang terjadi padanya semalam.
Tangannya bergerak melepas masker oksigen, lalu menyesuaikan pernapasannya dengan udara biasa. Senja bangun, menyenderkan punggungnya pada bantalan brankar, lalu menatap bersalah pada Jingga yang tengah tertidur pulas di atas sofa.
Senja mencabut infus yang menusuk punggung tangannya, dan beranjak mendekati jendela. Ia menyibak gorden, membiarkan cahaya mentari menerpa dirinya dengan sempurna. Pemandangan taman rumah sakit menjadi hal yang diperhatikan Senja saat ini. Di mana hamparan rumput hijau dengan beberapa bangku putih beserta pepohonan rindang menjadi objeknya. Oh, dan seorang anak kecil bertubuh kurus yang tengah berlari dari suster yang merawatnya, atau beberapa pasien rumah sakit yang bercengkrama dengan penghuni yang lainnya sambil menenteng botol infus.
Senja tersenyum, lantas berbalik dan keluar dari ruangan itu menuju taman rumah sakit.
Senja melangkah ringan di koridor rumah sakit tanpa alas kaki, sambil sesekali menyapa beberapa suster yang lewat. Ia berbelok ke kiri, dan mendekati anak kecil yang tadi ia lihat.
"Dek!" panggil Senja.
Anak kecil itu mengernyit lalu mendekati Senja.
Senja berjongkok, mengelus kepala anak kecil itu yang sudah tak lagi memiliki rambut. Sang anak tersenyum, menampilkan gigi-gigi mungilnya yang seputih susu.
"Kenapa lari dari suster?" tanya Senja.
Dengan polos, anak itu menjawab.
"Muala nggak mau minum obat, pahit." ucap anak kecil itu.
"Muara nggak boleh gitu. Sekarang, kakak tanya, Muara pengen sembuh, kan?"
Lantas, anak kecil bernama Muara itu mengangguk antusias.
"Makanya, obatnya diminum, ya. Jangan lupa berdoa juga sama Tuhan."
Muara mengangguk. "Iya."
Senja menunjukkan kelingkingnya. "Janji?"
Dan Muara menautkan kelingking kecilnya dengan kelingking Senja.
"Janji."
Seorang suster menghampiri mereka. Suster itu tersenyum, mengucapkan terima kasih dan menggandeng tangan Muara lalu berjalan menjauh. Muara kecil sempat berbalik dan melambaikan tangannya untuk Senja.
Sedangkan jauh di sana, di balik sebuah kaca, Jingga menatap sendu ke arah punggung Senja yang rapuh.
💫💫💫
Langit menguap, lalu beringsut mendekati nakas di mana ponselnya tergeletak.
Ia mengecek notifikasinya, lantas mengernyit bingung ketika sebuah nomor tak dikenal menghubunginya.
"Halo?" ucap Langit serak.
"Langit?"
"Kejora?"
Di ujung sana, gadis bernama Kejora itu terkekeh pelan. "Kamu masih ingat aku rupanya."
Dan percakapan mereka terus mengalir. Mengobati kerinduan sebagai sepasang sahabat masa kecil yang terpisahkan.
Sampai akhirnya, panggilan mereka harus berakhir. Dengan senyuman Langit yang mengembang sempurna.
💦💦💦
Siang ini, Senja diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit yang menanganinya. Dengan senang hati, Senja mengemasi barang-barangnya yang sebenarnya hanya sepasang pakaian kotor. Dengan senyuman yang terus mengembang, ia keluar dari rumah sakit, diikuti oleh Jingga dan supirnya.
Senja memasuki mobil. Dan mereka pun beranjak dari sana.
Di dalam perjalanan, Senja memutar lagu-lagu kesukaannya. Mulai dari lagu-lagunya Shawn Mendes, Ed Sheeran, Bazzi, Andara Day, hingga Coldplay.
Jingga terkekeh begitu mendengar Senja bernyanyi dengan semangat.
Lalu tiba-tiba, Senja berteriak. "BERHENTI!"
Terkejut. Supir mereka langsung menginjak pedal rem dengan tiba-tiba. Membuat Senja sempat terhuyung ke depan.
"Belok ke toko itu, Pak."
"Oke, Non."
Jingga masih memasang tampang syoknya. Sehingga Senja terkekeh geli lalu mengabadikan ekspresi Jingga yang begitu konyol dengan ponselnya.
Sebelum Jingga menggelitikinya, Senja sudah melarikan diri dari mobil dan memasuki toko kue yang kemarin ia hampiri.
Senja berdiri di depan etalase, di sebelah Senja, ada seorang lelaki tampan berwajah eropa yang berhasil membuat kaum hawa terpesona.
Saat Senja menyebutkan pesanannya, lelaki itu juga melakukan hal yang sama, dan pesanan mereka pun sama. Beberapa pegawai di toko itu terkekeh, sedangkan Senja mengernyit bingung.
Lelaki itu masih memasang tampang datar, tapi mata tajamnya tak berhenti untuk terus melirik gadis polos di sampingnya itu.
Usai membayar dan hendak beranjak dari toko itu, lelaki yang tadi berdiri di sampingnya menahan lengannya lembut. Senja berbalik, lantas tersenyum ramah.
"Gue Aksara." ucap lelaki itu singkat.
Senja berkedip lucu, membuat lelaki di hadapannya itu gemas.
"Aku Senja. Salam kenal." balas Senja manis.
Lelaki itu masih terpaku, sebelum akhirnya Senja pamit. "Raksa, Senja pulang dulu, ya. Sampai jumpa!"
Aksara masih berdiri di tempatnya. Memandang punggung Senja yang menghilang di balik pintu mobil.
Sejenak, ada rasa hangat yang mengalir di dadanya. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Aksara bisa menampilkan senyuman manisnya yang paling tulus.
Beberapa pengunjung perempuan dan pegawai toko memekik dengan tampang memuja. Lantas, Aksara langsung menetralkan kembali wajahnya dan meninggalkan toko itu.
"Raksa, nama baru untuk gue." ucapnya sambil terkekeh.
--*--
Di dalam mobil, Senja terus menatap keluar. Ia membiarkan pemandangan kota yang macet menghampirinya. Beberapa menit kemudian, lamunannya terpecah ketika ponsel di sakunya bergetar.
Kak Langit
Nja, besok jalan bareng, mau?
Senja menimang-nimang ponselnya, lalu membalas.
Oke.
Dan senyuman Senja kembali mengembang sempurna.
Kadang, sebuah pesan dari orang yang kita anggap spesial adalah hal yang memicu bahagia, kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Dan Senja
Teen FictionKita menghargai rasa. Namun saling mengelak demi merelakan. Karena semua ini adalah panggung sandiwara. Sekalipun semuanya harus berubah, kenangan itu tidak akan pernah hilang. Karena Langit dan Senja akan selalu terikat. Meski takdir mereka bert...