Prolog

91 2 0
                                    

-Faruq Adnan Al-Qarni-

Tatapanku mengarah ke barat. Tepatnya di tempat tenggelamnya mentari di pelosok negeri Indonesia tercinta ini. Seharusnya tak ku cari orang lain sebagai pengganti, namun keadaan memaksaku untuk berpaling darimu. Belum sempat ku membuatmu bahagia,  namun Alloh tlah merindukan dirimu kembali ke pangkuan-Nya. Ku titip hatiku padamu. Walau dia tlah ada di kehidupanku, kau tetaplah bidadariku.

Sedang apa kau wahai bidadariku ?
Aku tahu kau sedang melihatku
Bersama dengan  Sang pemilik segalanya
Tenanglah kau disana
Jangan lelah menanti diriku
Tuk kembali menjemputmu
Namun ah!
Rasanya sudah tak pantas
Ku bersanding denganmu
Karena ada wanita itu
Tak bermaksud menggantikanmu
Wahai bidadari jiwaku
Maafkan aku...

Dengan refleks jemariku menari di atas kumpulan kertas itu, memainkan tinta hitam berbalut plastik di jemari. Begitulah aku,  Adnan. Selama sekitar satu tahun ini.

-Tazkia Adiva Tsabitah-

Senja ini ingin sekali ku berlari sekencangnya. Melawan, berontak dari kehidupan yang penat. Ingin ku terbang bertemu sang awan, tidur berselimutkan dirinya tanpa seorangpun dapat mengganggu.

Hari ini, ku dengar lagi teriakan itu hingga penat kupingku. Ingin ku berteriak padanya namun sadar dia orang yang harus ku hormati. Aku lelah Tuhan. Sampai kapan aku harus mengkonsumsi hal semacam tadi ? Dua puluh tahun aku menghirup udara dunia. Delapan belas tahun aku disuapi hal semacam tadi. Aku lelah Tuhan....

Aku bergumam sambil berdiam di jendela kamar sembari menatap ke arah barat pada pukul setengah enam sore. Ya inilah hidupku, Adiva. Anak kedua dari tiga bersaudara.

Puisi Sang SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang