3

1.2K 48 2
                                    

  Waktu seakan berjalan dengan sungguh cepat, kini saatnya pembagian hasil belajar siswa. Kebetulan, aku dan kak Dini berbeda kelas dan sekolah.

  Kalau aku masih berada dikelas satu SMA, sedangkan ia sudah berada dikelas dua. Semua terjadi karena aku pernah tak naik kelas sewaktu disekolah dasar.
  Kalau kak Dini sengaja Papa sekolahkah di sekolah terfavorit di Jakarta, sedangkan aku bersekolah di SMA yang didalamnya hanyalah siswa buangan dari sekolah lain yang tidak menerima kami.
  Karena nilaiku tak sehebat nilai kak Dini dan Kak Virgo. Mereka memiliki IQ yang jauh lebih tinggi daripada aku.

“Pa, ambilin raport Dina ya.” Pintaku.

“Papa sudah janji sama Dini kalau Papa yang akan mengambilkan raportnya. Kalian kan beda sekolah.” Jawab Ayahku.

“Ma, ambilin raport Dina ya!” pintaku lagi pada Mama.

“Mama udah janji sama Virgo ngambilin raportnya, dia kan sudah kelas tiga jadi harus diwakilin.” Jawab Mama.

“oh gitu ya.” Balasku dengan kecewa.

  Aku hanya bisa menangis sendirian didalam kamar. Tidak ada satu orangpun yang mau mengambilkan raportku. Jalan terakhir adalah Bi Irah. Dan tentu saja ia sangat mau mengambilkan raportku.

“Gimana bi hasilnya?” tanyaku dengan penasaran.

“Non Dina juara 1 non.” Ucap bi Imah dengan semangat.

“hah? Beneran bi?” sahutku tak kalah semangat.
 
  Ternyata usahaku tak sia-sia, akhirnya aku bisa menyamai prestasi kak Dini.

  Setibanya dirumah, semua orang yang sedang tertawa ria melihat hasil belajar kak Dini dan kak Virgo menjadi terdiam disaat kedatanganku dan Bi Irah.

“gimana hasilnya Na?, pasti jelek.” Ucap kak Virgo menyindirku.

“gak ko, aku juara 1.” Ucapku dengan semangat.

“ah, juara 1 disekolahmu pasti juara terakhir dikelas Dini.” Ledek Ayah padaku.

  Aku kecewa, benar-benar kecewa karena semua prestasi yang kuraih tak penah dihargai sama sekali. Dengan kecewa aku berlari menuju kamarku, kuratapi semua ketidakadilan ini.
  Aku tidak keluar kamar selama dua haripun tak ada yang peduli. Semua orang dirumah hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tak terkecuali Bi Irah yang hampir setiap jam membujukku untuk keluar.

  Maagku kambuh, rasanya teramat perih dari yang biasanya.

“oh Tuhan, kuatkan aku!” pintaku.

  Dihari ketiga aksi diamku dikamar, tiba-tiba rumahku terdengar sebuah suara yang sangat kukenal. Ternyata hari ini, keluarga Om Frans sudah tiba di Jakarta untuk berlibur bersama keluarga kami.

“Ferel? Aku merindukanmu.” Ucapku dengan tertunduk lesu dikamar.

  Aku keluar kamar untuk menemuinya, namun ternyata ia sudah berubah dan tak peduli lagi padaku. Semuanya benar-benar berubah, dan kini janjinya ia ingkari untuk menemuiku.
  Penantianku sia-sia, semua orang telah membenciku dan menjauhiku.
  Aku sendirian dirumah, bi Irah pulang kekampung karena anaknya sakit. Sedangkan yang lain sedang makan malam dihotel. Dan aku? Tertinggal disini.

****

Biarkan Aku PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang