(Leyden)

65 6 2
                                    

Yogyakarta, 2017

Sore itu, pada akhir bulan Oktober yang dingin, Ivy berdiri menghadap butiran gemuk hujan yang mengguyur kota Yogyakarta. Ia berdiri di depan perpustakaan fakultasnya dan mendengar suara riuh protes mahasiswa semester satu yang baru saja keluar dari ruang ujian. Mereka meributkan soal ujian yang memiliki kesulitan tingkat dewa, soal ujian yang sepertinya sama sekali tidak pernah diajarkan atau disinggung di kelas, soal-soal ujian yang membuat kepala mereka terasa panas dan berasap.

Gerombolan mahasiswi dan mahasiswa silih berganti melewatinya, ia tetap berdiri dan mendengarkan. Dan memerhatikan. Dia juga pernah seperti itu, kira-kira tiga tahun yang lalu.

"Ivy!" Seruan itu menembus hujan, lalu pemiliknya menembus hujan. Ivy ikut bergabung dengan Tania yang hanya memegang satu payung, lalu berjalan menuju lahan parkir. "Jadi, akhirnya ya, nama kamu keluar juga. Untungnya namaku juga ada, karena kalau nggak, nggak bakal aku kasi kamu pergi sendirian." Tania menyodorkan payungnya pada Ivy. "Lihat, namaku masuk urutan tiga belas, Andre juga keterima lho! Oke, dia urutan satu, nggak heran. Tapi serius, bener-bener nggak rugi aku ngitilin kamu belajar sampe gak tidur semingguan."

"Jadi tujuan kamu mau belajar atau ngabisin waktu sama Andre?" tanya Ivy pelan. Ia memeluk tasnya di depan dada. "Pergi atau nggak perginya kamu, saya bakal tetap pergi. Saya sudah lama pingin ke sana."

"Ya kalau namaku nggak keluar tahun ini, aku nggak bakal punya waktu lagi. Semester depan udah harus mikirin Skripsi, seminar, lulus (iya kalau cepet), terus Koas... aku nggak bakalan biarin kamu pergi karena satu, aku bakal ngiri setengah mati kalau kamu sampe jalan-jalan sekitar Leiden tapi aku nyaris bunuh diri karena ketimbun tugas. Dua, aku nggak yakin, kalau akhirnya kamu nemu cowok Belanda yang cakep dan ngakhirin masa lajang kamu yang udah nggak ketulungan lamanya itu, kamu bakal tahan sama dia. Ngerti, 'kan? Kamu itu nggak bisa dipercaya urusan begituan. Aku harus ikut dan seleksi dia dulu."

Ivy hanya mengendikkan bahu. "Saya ke Leiden buat belajar. Sekalian nepatin janji sama ayah saya." Ivy menyerahkan payung pada Tania, lalu berlari kecil menuju pintu penumpang di seberang mobil. Tania duduk di belakang kemudi dan langsung mengenakan sabuk pengaman, ia menggeleng saat Ivy tidak mengenakan sabuk pengamannya. "Kamu nggak bakal nyetir kayak begal, 'kan? Jalan lagi licin. Hujan."

Tania hanya mengembuskan napas. Dan mulai mengemudi.

Tania adalah teman pertama Ivy di Yogyakarta. Perkenalan singkat mereka ternyata bisa bertahan sampai sekarang. Satu-satunya teman Ivy di Yogyakarta, teman yang terlalu ceria, terlalu bersemangat, dan terlalu banyak bicara kadang. Tapi dia tetap seorang teman. Saat ini Tania berada di tahun ke tiganya di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, sementara Ivy memilih mengenyam pendidikan hukum di Fakultas Hukum pada univeristas yang sama.

Gedung Fakultas mereka berdua saling berjauhan, dipisahkan jalan raya Kaliurang yang selalu padat, namun mereka kadang pulang bersama. Ivy yang menjemput Tania di fakultasnya atau sebaliknya. Rumah Ivy dan Tania berdekatan, Tania tinggal dengan adik lelakinya sementara Ivy tinggal seorang diri. Mereka sering keluar untuk makan bersama, Tania biasanya menemani Ivy ke mana pun kalau tidak sedang mengerjakan tugas atau kencan. Dia menghindari bersama wanita itu terlebih saat membeli buku atau mengitari perpustakaan. Dia tidak sanggup. Materi bidang kedokteran sudah membuatnya nyaris muntah-muntah setiap habis kelas, tidak bisa membayangkan bacaan Ivy yang mengurusi hukum negara yang tidak ada habisnya.

"Kurang lebih enam bulan, ya," Tania menggumamkan sesuatu saat mereka berhenti karena lampu apil menyala merah. "Di jadwal kita pergi setelah Natal dan balik lagi waktu musim panas. Berarti kita bakal ngabisin musim semi di sana, 'kan? Kamu tahu kalau bunga tulip di Belanda itu nggak ada duanya? Kita harus keliling kota tuh kalo lagi musim mekar."

Behind LeidenWhere stories live. Discover now