Perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta, dari Jakarta ke Amsterdam, dari Amsterdam ke Leiden. Total hampir dua puluh jam perjalanan Ivy hanya duduk, duduk, dan duduk. Tania bisa tidur dan menyandar pada Andre, mereka bercerita tentang banyak hal, termasuk destinasi wisata yang akan dikunjungi berdua, makanan-makanan lokal wajib yang akan dicoba, acara bersepeda keliling kampus tiap akhir minggu. Ivy bahkan mendengar Tania menyinggung tentang rencana foto prawedding, dan langsung memasukkan Belanda dalam list lokasinya, kemudian mendapat balasan tawa dan jitakan kecil Andre di keningnya.
Dua puluh jam dia kebanyakan diam dan memejamkan mata, namun tidak benar-benar bisa tertidur. Jadi begitu melihat kasur, dia langsung merangkak naik, tidur, dan bangun dengan posisi yang tidak berubah—posisi tengkurap—sepuluh jam kemudian.
Ivy bangun dan hal yang pertama dilakukannya adalah membongkar koper, lalu mengatur pakaiannya di lemari, menyusun buku-buku yang ia bawa, membersihkan rumah, menyusun jadwal apa saja yang akan dia lakukan dari senin sampai minggu, dari membuka mata sampai akan tidur lagi di malam hari. Tempat-tempat yang wajib dia kunjungi selama enam bulan lebih di Leiden, tempat-tempat prioritas sehingga tidak perlu mengganggu jadwal belajar dan kuliahnya. Beberapa makanan khas yang sebenarnya sudah ia bayangkan sejak turun dari pesawat.
Ivy melirik jam tangan yang sudah di atur sesuai waktu setempat, pukul sebelas malam. Dia tidak tahu apakah ada tempat makan yang masih buka pukul sebelas malam di Leiden, kalau di Yogyakarta selalu ada warteg yang buka dua puluh empat jam.
Ivy keluar dari rumah hampir pukul dua belas malam, setelah sebelumnya mandi dan membersihkan diri. Ivy mengenakan baju panjang, mantel, dan lapisan jaket lagi. Dia tidak pernah tahan dengan udara dingin, meski menyukai tempatnya. Begitu keluar dan berjalan di trotoar, Ivy nyaris kembali ke rumahnya lagi karena tidak tahan udara tengah malam yang nyaris membuatnya megap-megap. Hidungnya langsung meler dan perih, matanya berair, telinganya terasa aneh, belum lima belas menit berjalan, tangannya yang tidak memakai sarung tangan mulai berkerut. Tapi kaki Ivy tidak mau berbalik dan mengubah arah. Perumahan mahasiswa dua blok sudah Ivy lewati, ia melintasi kompleks perumahan bagi pria, beberapa orang terlihat di bagian belakang, di dekat tenda-tenda merah dan pemanggang, sedang ada party barbeque sepertinya, dan semuanya pria, dan itu membuat Ivy bergidik. Dia takkan mau lewat sana, jadi ia menyeret kakinya pergi.
Mungkin itu pilihan salah, karena menghindari kompleks perumahan pria berarti jalan buntu. Kecuali lorong kecil yang Ivy tidak tahu akan mengarah ke mana, dan jalan kembali ke rumahnya. Tapi dia lapar. Lemari pendingin kecil di rumahnya hanya berisi jenis makanan dan minuman yang paling tidak disukainya. Air mineral dan buah. Memikirkan kembung karena air dan mual karena buah, Ivy berjalan seorang diri di jalan aspal yang luas, pohon-pohon dengan ranting-ranting kering di sisi-sisinya, tidak ada rumah kecuali bangunan-bangunan dengan penerangan yang minim, kira-kira satu kilo meter Ivy berjalan. Ia meletakkan kedua tangan di depan dada, menggigil, jalan aspal yang lebar itu membentang di depannya seperti tak berujung. Kemudian, dia melihat perumahan lagi, rumah-rumah bergaya eropa klasik berwarna krem dengan halaman yang luas, dan patung-patung yang tidak jelas bentuknya karena terlalu gelap. Mungkin ini bagian perumahan dosen lainnya, mengingat warnanya tidak merah bata seperti perumahan mahasiswa.
Ivy berhenti di sudut jalan, dan menemukan satu-satunya bangunan yang terlihat memungkinkan dia kunjungi. Bangunan besar dua lantai dengan cahaya lampu oranye yang jatuh ke jalanan aspal di hadapannya itu berwarna putih dan biru, dengan batu-batu bata sebagai dinding, dan memiliki jendela-jendela kaca berbingkai hitam. Dari luar Ivy melihat rak-rak buku yang tingginya mencapai langit-langit, meja dan kursi serta bantal-bantal besar di dekat jendela. Ada seorang wanita di balik meja tinggi di dalam, sedang memegang teko dan cangkir, meracik kopi.
YOU ARE READING
Behind Leiden
RomanceIvy berjanji akan mengunjungi Leiden, dan dia memenuhinya. Ivy membawa serta aturan-aturan yang dipegangnya, berharap tidak ada yang berubah. Lalu ada Dane, pria yang ditemuinya pada musim dingin di Leiden-dia menyukai mata kelabu Dane, menyukai aks...