Aku tidak menyukai sesuatu yang tidak direncanakan. Sejak kecil ayahku selalu bercerita di sampingku tentang rumah impiannya saat tua nanti, bercerita bahwa sejak pertama kali melihat ibuku, dia telah merencanakan masa depan dan semakin giat berusaha untuk mencapainya.
Ayahku menargetkan menyelesaikan studi sebelum ibuku berusia dua puluh dua, lalu menyiapkan cara melamarnya, membeli cincin, menyusun kata-kata. Setelah menikah, ayahku menyiapkan segala kebutuhan ibuku; rumah, kendaraan, perhatian, kasih sayang, waktu. Lalu memikirkan masa depanku. Di mana aku akan memulai sekolah, bagaimana aku harus memperkenalkan diri di hadapan banyak orang, bagaimana berbicara pada guru, menu makanan bekal yang kubawa, menyediakan waktu untuk mendengar cerita-cerita setelah pulang sekolah.
Rencana masa depan.
Bagaimana menghadapi laki-laki yang datang ke rumah dan bagaimana bereaksi saat mendengar alasan-alasan yang digunakannya untuk mengajakku keluar. Ayahku merencanakan studi yang terdengar menyenangkan untukku dalam buku agendanya. Tempat yang bagus untuk bekerja, nama-nama cucu perempuan dan laki-laki yang telah ia pikirkan. Di sana dia juga menulis apa yang akan dia lakukan hari ini, apa yang akan dia lakukan besok, minggu depan, bulan depan, tahun yang akan datang, resolusi-resolusi yang akan dia capai.
Sepertinya, sifat tergila-gila pada aturan yang diterapkan ayahku menurun padaku. Aku tidak bisa tidur di malam hari sebelum menyiapkan buku agendaku—buku saku kecil yang selalu kubawa ke mana-mana—berisi apa saja yang akan kulakukan seharian sejak aku bangun di pagi hari dan tidur lagi di malam hari. Apa yang harus kulakukan dan apa yang bisa ditunda untuk sementara. Berisi hal-hal yang menurutku penting, tanggal ulang tahun ibu dan ayahku, tanggal ujian, tanggal deadline tugas, tanggal sesuatu yang telah kumulai dan target menyelesaikannya, tanggal libur yang bisa kugunakan membaca beberapa buku atau novel dan menonton film, tanggal datang bulan.
Aku juga menuliskan buku-buku atau novel yang ingin dan akan kubaca, sejauh mana aku mengerjakan tugas, catatan-catatan kecil tentang tempat-tempat yang kusukai, makanan yang akan kubeli dua kali seminggu atau makanan yang takkan kucicipi lagi seumur hidup. Aku menyukai sesuatu yang terorganisir, seperti isi pouch yang bersih dan ringkas, atau tempat pensil berisi alat tulis yang kubutuhkan. Aku menyukai meja belajarku yang bersih dan buku-buku yang tersusun rapi, aku menyukai ruangan-ruangan luas dan tenang, benda-benda yang berada di tempatnya.
Aku di tempatku, mereka di tempat mereka.
Aku tidak suka jika seseorang, atau sesuatu mengacaukan jadwal yang telah kubuat. Aku tidak suka jika rencanaku tertunda dan berantakan. Aku tidak suka menggunakan waktuku untuk hal-hal yang tidak ada di daftar hal-hal yang akan kulakukan, aku tidak pernah menyukai perubahan-perubahan seperti halnya aku tidak menyukai brokoli dan sejawat hijaunya.
Sejak kecil ayahku sudah mengajarkanku tentang pentingnya memikirkan apa yang akan kulakukan, bagaimana aku menyelesaikan masalah, bagaimana berpikir sebelum berbicara atau bertindak. Sebenarnya niat awal ayahku sangat baik, dia ingin putrinya memiliki tanggung jawab pada hidupnya dan menghargai waktu. Namun, sepertinya aku menanggapi hal itu secara berlebihan. Sampai hari ini, aku tidak bisa menolerir sesuatu yang tidak terjadwal, dongkol setiap kali seseorang merusak apa yang telah kupikirkan dan kujadwal sebelumnya. Membenci orang-orang yang dengan seenaknya menganggap waktuku hanya untuk mereka. Atau, akulah yang memang tidak cocok dengan mereka.
Aku tidak membenci orang-orang seperti yang orang-orang pikirkan. Aku hanya merasa tidak nyaman di antara mereka. Dan itu berbeda.
Ketika berada di tengah-tengah mereka aku merasa harus menyesuaikan diri lagi, memulai lagi dari awal, memutuskan karakter yang ingin kutunjukkan, merasa takut dengan tanggapan mereka tentangku setelah beberapa saat berada dalam ruangan yang sama, lalu mengikuti arus yang mereka buat, yang berarti bercanda tawa, memberitahu apa yang akan dilakukan besok dan terlibat dalam rencana-rencana kunjungan tempat-tempat bagus dalam kelompok-kelompok besar. Jika menolak, mereka akan mulai meremehkan kesetiaanku, kemampuanku, dan akhirnya menyudutkanku hingga tersingkir dalam pergaulan. Lalu memulai lagi dari awal. Tempat baru. Orang-orang baru.
YOU ARE READING
Behind Leiden
RomanceIvy berjanji akan mengunjungi Leiden, dan dia memenuhinya. Ivy membawa serta aturan-aturan yang dipegangnya, berharap tidak ada yang berubah. Lalu ada Dane, pria yang ditemuinya pada musim dingin di Leiden-dia menyukai mata kelabu Dane, menyukai aks...