Dua hari senggangnya di Leiden ia gunakan untuk mengitari area kampus, mengunjungi satu per satu kelas tempatnya akan belajar nanti, membuat segala macam kartu (kartu mahasiswa sementara, katur perpustakaan, kartu tinggal sementara), mengisi persediaan lemari pendingin, mengecek jadwal pelajaran dan mencari literatur yang digunakan di perpustakaan pusat atau di Midnight Books. Ada beberapa buku di perpustakaan pusat yang tidak diterjemahkan dalam Bahasa Inggris, tapi Ivy bisa menemukannya di Midnight Books. Selama dua hari ini dia selalu berkunjung ke sana untuk mencari buku-buku yang tidak ada di perpustakaan pusat, setelah sebelumnya membuat kartu anggota di toko buku itu.
Tania dan Andre sudah berbaur dengan teman-teman dari Fakultas Kedokteran, sementara Ivy—tidak mengherankan—selalu berkeliaran seorang diri ke mana pun ia pergi. Ia hanya bertemu satu kali dengan Tania dan Andre selama dua hari ini, kemarin sore, saat wanita itu menawarkan makanan berbahan mi Indonesia yang terkenal karena kenikmatan bumbunya—yang berarti berlimpah MSG—dan Ivy tidak bisa menolaknya. Dia butuh makanan 'khas' Indonesia di tempat ini.
Sore itu Ivy duduk di salah satu bangku kayu. Dingin, tapi rasanya menyenangkan duduk di tengah taman sepi sambil mendengar samar-samar suara dosen menjelaskan dari balik bangunan di sampingnya. Besok dia juga akan berada di kelas dan berniat duduk di bangku paling belakang supaya tidak perlu repot-repot bertegur sama dengan orang-orang baru. Taman ini dan bangku kayunya dinobatkan Ivy sebagai tempat favorit sementaranya, terletak di bagian belakang fakultas, jauh dari cafeteria dan tempat parkir. Dekat dengan perpustakaan dan rumah sementaranya.
Ivy hanya duduk di sana beberapa saat, kelas telah dibubarkan dan suara gaduh langkah kaki mulai terdengar. Ia duduk di tengah-tengah taman, dikelilingi bangunan-bangunan kuno yang masih dilestarikan, pohon-pohon kering tak berdaun dan suara air dari kanal-kanal yang memisahkan satu fakultas dengan fakultas lain. Ivy benar-benar merasa berada di tempat yang benar.
"Ivy!"
Ivy melompat berdiri dari duduknya saat mendengar namanya dipanggil. Tidak ada seorang pun di taman itu selain dirinya, dan melihat tatapan bersahabat yang terpancar dari wajah seseorang di seberang sana, sepertinya benar yang dipanggil barusan adalah dirinya.
Pria itu mendekat, tinggi sekitar seratus delapan puluh empat, kaukasia, rambut kuning, mata hijau. Ia menggendong ransel, tersenyum lebar. Ivy mendadak gemetar dan memikirkan cara untuk kabur.
"Ivy, right?" tanya pria itu saat berdiri di depan Ivy. "I'm Spencer."
Ivy melihat Spencer mengulurkan tangan, lalu menatap lagi ke wajahnya, pria itu masih tersenyum. Ivy memikirkan cara untuk menggerakkan tangan dan membalas jabatan tangan Spencer, namun yang dilakukannya adalah mundur satu langkah.
"I'm Andre's friend," Spencer masih mengulurkan tangan. "He told me about you." Karena Ivy tidak mengatakan apa-apa selain wajahnya yang memucat, Spencer menurunkan tangan, lalu memperlihatkan senyum pemahaman. "Saya pernah tinggal di Indonesia," Spencer melanjutkan dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata. "Two years, I guess. Lalu pindah ke Leiden karena ayah saya dipindahtugaskan. I'm Law Student too, by the way,"
"I'm Ivy." Suara Ivy terdengar aneh di telinganya sendiri.
Spencer tertawa. "I know," katanya. "Ivy Odelia Kayra. International Law Department."
"Ya." Ivy hanya berdiri rikuh di sana, bertanya-tanya apakah dia tidak apa-apa meninggalkan tempat itu sekarang.
"I'm from Business Law Department," Spencer masih tersenyum. Dia ramah, sama seperti Andre tapi versi yang lebih dewasa. Dan dia juga dari Fakultas Hukum. "I do speak Bahasa. What do you think?"
YOU ARE READING
Behind Leiden
RomanceIvy berjanji akan mengunjungi Leiden, dan dia memenuhinya. Ivy membawa serta aturan-aturan yang dipegangnya, berharap tidak ada yang berubah. Lalu ada Dane, pria yang ditemuinya pada musim dingin di Leiden-dia menyukai mata kelabu Dane, menyukai aks...