Silence

59 4 0
                                    


Kira-kira pukul empat sore, aku akhirnya duduk kembali di bangku taman belakang fakultas. Setelah melakukan wawancara singkat dan mengatur pertemuan berikutnya dengan Mr. Kellen, aku mengikuti kelas pukul dua di gedung sebelah barat. Kelas hanya diisi seorang dosen dan konten yang diberikan baru sebatas pengenalan lingkungan kampus, kurikulum, dan tentu saja, perpustakaan universitas yang menjadi kebanggaan mereka secara turun temurun.

Aku melewati sesi paling menegangkan dengan terbata-bata, cukup baik, namun tetap terbata-bata, sesi pengenalan diri. Untungnya mereka tidak bertanya lebih banyak tentang Indonesia, mungkin karena aku yang mengenalkan diri dengan sangat singkat dan langsung mengakhirinya setelah menyebutkan dari universitas mana aku berasal, atau mungkin juga karena aku duduk paling belakang dan mendapat urutan terakhir perkenalan, jadi mereka tidak begitu tertarik. Syukurlah. Belum pukul empat, kelas telah dibubarkan.

Dingin, angin berembus semakin kencang mendekati malam. Dan karena ini musim dingin, waktu siang menjadi lebih pendek dan matahari terbenam lebih awal dari biasanya.

Di sampingku, pria bermata kelabu tadi pagi duduk seraya membuka komik-komik Marvel yang kuberikan padanya. Kami hanya duduk berdua di sebuah kursi panjang, dengan posisi aku di ujung kanan dan dia di kiri, menghasilkan ruang kosong yang cukup lebar di tengah-tengah kami. Dia terlihat tidak terganggu, sementara aku merasa sebaliknya.

Aku teringat kata-kata Spencer kemarin sore, pria ini—yang ternyata cucu Dekan dan bukanlah mahasiswa yang penelitiannya ditolak seperti dugaanku sebelumnya—memiliki tinggi di atas rata-rata, untuk ukuran orang Asia sepertiku khususnya, dan perumpamaan tiang listrik kini terdengar tidak berlebihan. Tubuh tiang listrik itu terdiri dari daging, tulang dan otot dalam porsi pas, dibalut kulit putih pucat. Dalam gelapnya taman itu, aku bisa melihat matanya. Iris kelabu yang menarik perhatian di balik rambut cokelatnya yang diterbangkan angin. Dia duduk di sampingku, hidungnya memerah walau sepertinya ia tidak terganggu oleh dingin yang menemani kami. Aku duduk dan menatap lurus ke depan.

Pria itu sudah menungguku saat aku keluar kelas. Memanggil singkat namaku saat aku melangkah dari pintu. Dia bersandar di depan loker dinding, menyampirkan ransel ke salah satu bahunya saat berjalan ke arahku. Dia mengulurkan tangan dan bilang, "Buku-buku saya." Tanpa disertai ekspresi apa-apa, seolah dia sangat tahu bahwa buku-bukunya berada di dalam tasku.

Aku yang bingung dan kikuk di tengah keramaian hanya mengangguk setelah paham pria inilah yang dimaksud Spencer. Mata kelabu itu, yang berubah warna menjadi agak gelap di ruangan tertutup, serta efek dari jaket hitam yang ia kenakan.

Komik-komiknya berpindah tangan, dia menimbang-nimbang komik itu sekilas, lalu sepintas, ekspresi geli melintas di wajahnya. Dia menggumamkan, "Spencer brengsek," Itu yang bisa kutangkap—Kalau aku tidak salah dengar. Lalu dia mengangkat wajah untuk menatapku, dan aku nyaris terperanjat saat dengan santainya dia berkata, "Saya antar kamu pulang."

***

Selama kurang lebih tiga puluh menit, aku hanya menulis agendaku tentang jadwal wawancara dengan Mr. Kellen, jadwal kuliah besok, dan bahan-bahan yang harus kupelajari malam ini tentang penelitianku untuk dipaparkan nanti saat wawancara. Mr. Kellen pria yang baik, dia memberi kemudahan untuk mahasiswa yang ingin melakukan wawancara dan mengapresiasi mereka yang berkeinginan kuat untuk menyelesaikan studi. Dia sempat menyiratkan sekilas tentang seseorang yang terus-terus menentangnya, yang tidak bisa benar-benar dia mengerti. Aku hanya mengangguk tanpa memahami apa maksudnya dan kepada siapa hal itu ditujukan. Sampai akhirnya Mr. Kellen mengatakan bahwa ia bisa ditemui di kantornya setiap sabtu sore dan menjabat tanganku saat aku pamit keluar dari ruangannya, aku masih bertanya-tanya siapa orang yang beliau maksud.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 22, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Behind LeidenWhere stories live. Discover now