Kau tahu betapa tak baiknya aku. Ya, teruslah dalam pikirmu. Aku bejat. Tak berperikemanusiaan. Bahkan aku lebih menjijikan dari seekor ular. Rasa kasihan telah lama pergi. Dalam diriku hanya ada sosok iblis yang hidup pun tak pantas, merugikan jiwa-jiwa lain yang bernapas. Kau memberi jarak yang terbentang luas. Tak pantas bagiku menyimpan harap. Secuil saja, tak boleh. Iya, aku paham. Sangat sangat mengerti. Berkatalah sesuka hatimu, dalam pikirmu. Semampumu. Sampai kau lelah. Pandang aku pada sisi manapun yang kau mau. Tapi, kau hanya bisa berkata dalam hati. Kenapa? Begitu menyeramkan kah aku, sampai bicara tentangku saja kau tak mampu. Hanya bisa bersembunyi dibalik nama 'kawan'. Begitulah kau. Tapi itu katamu. Tidak denganku. Betapa istimewanya dirimu. Bahkan tak mampu aku menahan tawa, leluconmu sangat kocak, menggelikan. Tapi ya, itulah kau. Mengistirahatkan otak terlalu lama sungguh tak baik. Membuatmu jatuh semakin dalam pada jurang kebodohan. Menghakimi seakan kau adalah hakim agung. Oh, betapa mulianya. Aku menghargaimu. Sungguh. Sampai tak tega rasanya menarik boponganku padamu. Apalagi saat melihat tingkahmu yang teramat bersahabat. Menyambutku dengan sebaik mungkin, meski hatimu berkata sebaliknya. Sudahlah. Kau tetap kau. Sampai kapanpun adalah kau.
-alunanmalam
251017
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberkas Luka dan Rasa yang Membekas
PoetrySedikit dari kumpulan luka yang tersimpan Bekas-bekas yang tak kunjung menghilang dan yang terkenang Kau bisa istirahat sejenak, tapi tak bisa melupa, walau kau tatap ke depan Mengenang memori kelam kemudian melayang Karena Tuhan memberikan sesuatu...