Three

771 85 2
                                    

Gadis itu menatap lurus. Dia melangkah menelusuri karpet merah marun rumah yang dingin. Gaun putihnya bisa dengan seketika menarik berpasang-pasang mata para guard yang berjaga di sana. Masih diikuti Ferox, Vrtnica akhirnya berhenti di salah satu ruang. Satu orang pria melirik mereka berdua sekilas sebelum membukakan pintu.

Obrolan yang mulanya mewarnai ruangan tersebut sirna saat Vrtnica masuk. Beberapa orang bisa dia kenali, tapi tidak dengan orang-orang lainnya. Vrtnica tidak berminat tahu. Sudah cukup baginya saat Ernest menggumamkan lagi logat Rusia, bersikap seolah kehadirannya tidak pernah ada. Mereka sempat melihat gadis itu menempati salah satu sofa, lantas mengalihkan perhatian lagi. Sementara Ernest menyelesaikan acara malam itu, Vrtnica menunggu.

Kurang dari satu jam kemudian, Ernest menyuruh orang-orang tersebut pergi. Vrtnica bisa merasakan tatapan beberapa dari mereka yang kedapatan meliriknya lagi. Dia selalu tahu apa yang mereka pikirkan tentangnya. Putri kandung dari Ernest Len bukanlah tebakan yang akan pertama kali muncul. Melihat wajahnya—turunan dari ibunya dan kemudaan Vrtnica, mereka akan memikirkan satu hal: seorang gadis yang dijual, dan naasnya dibeli oleh seorang Len yang kejam.

Ernest tidak pernah melakukan apa pun pada pandangan melecehkan dari orang-orang itu. Namanya sudah cukup untuk menghalau mereka supaya tidak menyentuh Vrtnica. Namun sayangnya, nama itu juga sekaligus menjadi sumber mimpi buruknya. Tidak akan ada orang lain lagi yang akan bertindak jika Ernest melakukan sesuatu pada gadis itu.

"Apa yang Gennady katakan padamu?" Ernest bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari revolver baru yang dia beli. Sesekali dia akan mengacungkan ujungnya ke jendela. Sepertinya kaca jendela itu akan diganti tidak lama lagi.

"Meminta menemaninya ke Kyoto," jawab Vrtnica—juga tanpa memandang figur yang seharusnya menjadi ayah baginya, juga keempat saudarinya.

"Apa jawabmu?"

"Bagaimana aku tahu jika kau memberikan izin atau tidak?"

Ernest terdiam. Pria itu kemudian melangkah mengitari dinding rak, di mana hampir semua sisinya dipenuhi buku-buku bersampul warna-warna yang kelam. Garis paling atasnya mungkin berdebu. Seseorang harus berhati-hati jika berniat membersihkannya. Tangga kayu yang disiapkan di pojokan terkadang sangat licin. Ernest pernah memakainya untuk memukul seseorang hingga gegar otak.

"Apakah kau akan menurutinya?" Tengkuk Vrtnica meremang merasakan Ernest tengah membungkuk di belakangnya. Dia berbisik tepat di telinga kanan gadis itu

"Apa keinginanku akan ada pengaruhnya?"

Vrtnica terkesiap saat Ernest mencengkeram lehernya. Dengan satu sentakan, tubuhnya terangkat. Tangan kekar itu mengayun, lalu menghempaskan Vrtnica seketika. Biarpun tengah memandang ke bawah, dia bisa merasakan hujaman tatapan dingin dari Ernest. Tiba-tiba saja pria itu menjambaknya keras. Kepala Vrtnica diarahkan mendongak ke atas, mendapati sorot kelam Ernest.

"Jangan balas pertanyaanku dengan pertanyaan," katanya. Gelenyar ketakutan makin merembet Vrtnica kala Ernest menelusuri lehernya dengan jari telunjuk yang dingin. "Sekali lagi sebelum kesabaranku habis."

Vrtnica memiliki pilihan untuk berbohong, namun pada akhirnya dia memilih jujur.

"Ya ...," balas gadis itu lirih. "Aku ingin ikut dengannya."

Kelopak matanya kontan menutup rapat saat jambakan Ernest terlepas. Pria itu menamparnya berulang-ulang hingga wajahnya seakan mati rasa. Memar muncul di sudut bibir dan pelipis. Puas melihat Vrtnica lagi-lagi tidak berdaya, Ernest melepaskan gadis itu lagi. Napasnya terengah-engah—dalam artian memuaskan.

"Kau bukan gadis kecilku lagi," ujar Ernest sambil mengusap atas kepala Vrtnica. "Kau jauh berbeda dari ibumu saat menerima hal-hal semacam ini.."

Air mata gadis itu mengalir membasahi karpet. Dia merasa beruntung berbaring tertelungkup, karena Ernest tidak perlu melihat wajahnya yang nanar.

GlasshouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang