One and Half: Ferox

917 110 0
                                    

Kelam. Sebagian besar keadaan yang kami lihat sewaktu bernaung langit terbuka, adalah rona abu-abu. Aku dan beberapa pria bersetelan hitam menunggu di dasar tangga. Hanya ada dua belas anak tangga pada gedung berdinding bata putih tersebut. Tidak banyak. Landai, namun menyusahkan bagi si Kaki besar.

Pandanganku menyapu sekitar, memperhatikan semua gerak yang bisa kutangkap dan kuartikan pada detik yang sama. Ketika derit pintu terdengar, kami menoleh ke arah yang sama.

Seorang gadis yang kali ini mengenakan coat bulu putih yang tebal dan topi trilby keluar dengan binar mata yang kosong. Aku terbiasa melihat sorot serupa mayat itu. Vrtnica mungkin melihat semuanya, akan tetapi menetap pada kebisuan dan tidak melakukan apa-apa.

Pelan, dia menuruni satu demi satu anak tangga. Kepalanya menunduk, setidaknya sedikit membantuku mengartikan suasana hatinya kini. Dia tidak terlalu senang. Hari ini akan menjadi hari yang sama dengan yang telah terlewat: tertutup kelabu.

Salah satu guard membukakan pintu mobil untuknya. Aku kemudian masuk melalui sisi yang lain. Tepat saat mobil melaju, titik-titik air seketika memburamkan kaca. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu jika Vrtnica tetap berusaha memandang keluar. Tangan pucatnya terangkat. Dia lalu menuliskan sesuatu pada kaca jendela yang berembun.

Kurang beberapa menit sebelum kami tiba di tempat tujuan, dia memerintahkan supir untuk berhenti. Aku melirik mereka yang tengah berpandangan bingung sekilas. Sesuai perintahnya, mobil berhenti. Gadis itu turun di tengah hujan gerimis. Dia mulai melangkah pergi. Tanpa dia berkata apa-apa, aku memberi isyarat pada yang lain untuk tetap di tempat sementara aku sendiri yang akan mengikutinya.

Dia hampir tidak pernah berucap di saat seperti ini. Begitu juga denganku. Sikapnya amat berbeda semenjak dua belas tahun yang lalu, sewaktu aku masih bisa melihat segala macam ekspresi pada wajahnya yang pucat. Vrtnica pernah memarahiku, mengomel, menangis. Namun kini semuanya menguar tidak tersisa.

Dia berhenti melangkah. Napasnya tersengal.

Aku menoleh ke arah lain. Menunggu. Hanya itu yang aku bisa. Aku hanya akan ikut campur apabila dia memberikan perintah.

"простуда... (Dingin)," ucapnya samar.

Aku mendongak ke langit, membenarkan ucapannya meski dalam kebisuan.

Suara bentakan dari kejauhan menarik perhatiannya. Kami memicingkan mata, mendapati seseorang berada di tengah-tengah jembatan kanal. Tangannya terangkat berulang kali lalu menghujam sesuatu di bawahnya. Bahkan dari jarak beberapa kilometer, bunyi membalun terdengar jelas.

Makian kasar keluar dari mulutnya. Tidak puas memukul, dia juga lantas menendang tiga kali. Terakhir kali, pria yang sepertinya tengah mabuk itu meludah. Aku melihat Vrtnica sedikit berjengit saat si Pria mengangkat sesuatu lalu melemparkannya begitu saja ke tengah kanal.

Sesuatu yang baru saja dibuang tersebut menggeliat. Tubuhnya kecil dan gemetaran hebat. Air yang mengalir di kanal membasuh lukanya. Semburat kemerahan timbul seiring dengan gerak arus. Terseok, hewan kecil tidak berdaya itupun mencari-cari tempat yang tidak tergenang air. Pilihannya jatuh ke sebuah kemasan makanan kosong yang tersangkut di tengah-tengah sampah ranting pohon.

Lama Vrtnica memandanginya dari atas tempat kami berada kini. Kalau saja tidak mengingat pada apa yang akan kami lakukan sebentar lagi, aku mungkin akan membiarkannya saja. Melewatkannya sama dengan memberikan masalah baru bagi gadis itu.

"Sudah waktunya." Aku memberitahu.

Vrtnica diam. Aku yakin dia bisa mendengar karena setelahnya, pundak gadis itu bergerak samar—menghela. Boots-nya menyeret mundur, lalu berbalik. Kedua matanya terpejam. Kami pergi tepat ketika hujan deras kembali mengguyur.

GlasshouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang