Roma, 30 April 2015.
Salah satu ruang panggung dalam gedung pertunjukkan klasik yang kosong, seseorang duduk di deretan kursi paling belakang, diam mendengarkan dentingan piano. Gymnopedie dilagukan tenang oleh seorang gadis yang menguncir tinggi rambut cokelatnya di belakang kepala dan berhias pita putih. Dia memainkannya tanpa tahu ada orang selain dia dalam ruangan teater malam itu.
Seorang yang jadi pendengar tadi kemudian menyelinap keluar diam-diam sewaktu lagu kedua hendak dimainkan. Bukan orang itu tidak ingin mendengarnya, dia hanya telah selesai memastikan gadis pianis tadi baik-baik saja. Kebetulan saja dia berada di sana dan meyakinkan diri untuk menyempatkan sedikit waktunya untuk melihat gadis itu. Ini bukan waktu yang baik untuk bertemu. Belum.
Sesampainya di luar gedung, dia disambut beberapa orang pria yang berbalut jas hitam yang mengitari dua mobil. Salah satunya membukakan pintu lalu orang tadi masuk ke dalamnya. Tidak menunggu lagi, mereka pun beranjak secepatnya ke bandara karena pesawat yang hendak orang itu tumpangi akan berangkat sebentar lagi.
Wajah pucat gadis itu memandang keluar melalui kaca jendela mobil. Lampu-lampu jalan dan pertokoan selalu menyilaukan matanya pada malam hari, terlebih di kota-kota besar. Pemandangan yang umum, tapi gadis itu tidak pernah terbiasa. Dia masih begitu muda, namun hidupnya begitu membosankan meski setiap hari bertemu dengan macam-macam orang dengan latar belakang dan sifat yang berbeda. Satu haripun berlalu begitu lambat kali ini.
***
"Selamat datang," sambut seorang florist saat lonceng yang berada di samping pintu kayu tokonya berbunyi nyaring.
Masuk seorang gadis memakai dress abu-abu selutut membawa tas tangan serat. Mata gadis itu mengedar memperhatikan puluhan jenis bunga yang terhampar di depannya.
"Anda datang pagi sekali," komentar sang Florist ramah. Wanita paruh baya yang begitu ceria itu sedang menyemprotkan air ke beberapa bunga yang masih tinggal dama pot-pot kecil. "Silakan dipilih dulu."
"Tolong bungkuskan mawar..," kata gadis itu.
"Tentu. Mau yang warna apa?"
"Merah.. Saya mau semua yang ada di keranjang itu.." Dia menunjuk pada sekeranjang penuh mawar merah di pinggir ruangan toko, tapi dengan posisi yang lebih tinggi satu tingkat dari bunga-bunga lain di atas lantai.
Florist tadi meletakkan botol penyemprotnya lalu berjalan mengambil keranjang bunga yang gadis itu maksudkan. Hati-hati, dia mengeluarkan semua mawar itu dari keranjang. Detik berikutnya badannya berbalik menghadap si Pelanggan.
"Mau ditata sekalian dalam buket?" tanyanya.
"Bungkus kertas saja."
Mawar-mawar tadi kemudian ditata rapi dalam balutan kertas putih dan cokelat. Supaya rekat, sang Florist menambahkan juga seuntai pita yang kemudian ditalikan. Dia pun memberikannya pada gadis tadi setelah dibayar menggunakan beberapa lembar uang merah. Senyum sang Florist makin mengembang ketika gadis itu menolak kembalian uangnya, dua kali dia mengucapkan kata terimakasih.
Sekeluarnya dari toko bunga, gadis itu melangkah menyusuri jalan kecil tempatnya berada kini. Sepatu kayunya mengetuk-ngetuk aspal. Hari masih pagi dan belum banyak orang-orang yang memulai aktivitas sehingga bunyi sandalnya menggema. Kakinya belum juga berhenti melangkah sampai akhirnya matahari bersinar terik. Debu dan asap kendaraan mulai bertebaran di mana-mana. Gadis itu mulai merasakan pusing, wajah dan tubuhnya pun timbul titik-titik keringat. Matanya beralih lagi ke kantong kertas mawar yang dia bawa. Tentu saja, bunga itu mulai layu.
Paru-parunya menghela dalam-dalam. Berada di negara tropis memang sedikit melelahkan. Tubuhnya terlalu sering diterpa dingin hingga untuk beberapa waktu lamanya, dia tertegun dengan hawa panas yang menjalar. Sekarang barulah dia benar-benar mengerti kenapa orang-orang sangat menyukai teh yang dimasukkan beberapa balok kecil es batu.
Hidungnya samar-samar menghirup aroma daging yang dimasak di atas bara api. Gadis itu berhenti melangkah dan agaknya mulai kebingungan pada benaknya yang mendebat. Orang yang melihatnya akan menyangka gadis itu sedang melamun. Kesempatan itu dimanfaatkan baik-baik oleh seorang laki-laki yang sedang memperhatikannya dari jauh.
Mengambil arah yang berlawanan dari si Gadis, laki-laki itu tiba-tiba berlari berbalik arah. Tas yang disampirkan di siku langsung direbut paksa. Mata gadis itu pun membelalak terkejut. Badannya bahkan tertarik ke depan hingga lututnya menghujam aspal. Seorang wanita paruh baya melihat kejadian itu dan langsung berteriak keras.
"COPET!!!" Dia menunjuk ke arah laki-laki tadi berlari.
Teriakan itu tentu saja mengundang perhatian orang-orang di sana. Beberapa pria bahkan langsung berlari mengejar. Wanita yang berteriak itu lalu beralih menghampiri si Gadis yang tampak mematung—dia mengerjap beberapa kali mendapati mawar merah yang dibelinya tumpah dan berserakan kotor bersamanya di atas aspal.
"Kau tak apa-apa, Nak?" tanya wanita tadi. Dia lalu membantu gadis itu berdiri.
Si Gadis hanya mengangguk sekali—tampak tidak sedikit pun tidak cemas pada tasnya yang dicuri. Kalau soal uang dan kartu-kartu di dalam dompet, dia tidak peduli. Hanya saja ada sebuah bros berlian berbentuk mawar yang amat berharga di dalam sana.
"Ada apa? Kenapa di luar berisik sekali?" Suara seseorang bertanya terdengar tidak jauh dari posisi gadis itu sekarang.
"Sepertinya nona ini kecopetan," jawab suara dari orang lain lagi.
Gadis itu menoleh ke samping, menyadari kalau dia berdiri tepat di depan sebuah rumah makan bernuansa merah beludru. Dua orang laki-laki yang sepertinya pegawai di rumah makan tersebut menempelkan tubuh mereka ke kaca jendela. Pandangan mereka terarah ke kerumunan yang ramai.
Saat itulah sepasang mata si Gadis terpaku dan badannya membeku. Bahkan sebelum hatinya bertanya-tanya apakah sosok di depannya nyata atau tidak, sebulir air matanya lebih dulu jatuh. Lagu lama yang tersimpan terlalu lama akhirnya dibuka kembali.
Dan apabila aku bermimpi... jangan biarkan aku terbangun.. selamanya..

KAMU SEDANG MEMBACA
Glasshouse
Misteri / ThrillerBuku IV seri kembar Lima kembar bermarga Len. Salah satunya amat berbeda--pembunuh seperti ayahnya. Artikanlah karakter gadis manekin itu dengan sekali melihat manik matanya yang kelam. Saat melihat sang Mawar, kau akan jatuh cinta. Menyentuhnya, du...