Wounds Heal, Scar Left (4/8)

442 52 0
                                    

Tangannya memegang botol penyemprot, membasahi helai-helai daun mawarnya yang ditanam di pot-pot kecil yang membentuk cabang. Dia berada dekat dengan jendelan di mana sinar matahari pagi masuk tanpa halangan. Matanya silau, namun dia tidak keberatan. Dia hanya harus menundukkan kepala, atau menundukkan matanya saja. Saat terik matahari makin kuat, tubuhnya yang seringkali dingin kali ini berkeringat. Mengerjap pelan, dia pun memandang ke sekeliling, melihat semua mawar-mawarnya yang dirawat baik.

"Aku pikir kau sudah pergi," kata seorang gadis sebayanya yang membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Wajah mereka mirip. Yang membedakan hanyalah rambutnya yang cokelat dan pendek sebahu.

Gadis itu—Kirana tersenyum samar seperti biasa lalu menaruh botol penyemprot kembali ke rak.

"Ah, kau telanjang kaki lagi...," komentar gadis yang baru masuk tadi. "Serpihan kayunya memang setiap hari dibersihkan, tapi kau tetap harus memakai alas kaki. Sebentar.." Dia mengambil sepasang sandal kayu dengan hiasan bunga merah muda tidak jauh dari sana. Selanjutnya yang dilakukan gadis itu adalah berjongkok di depan manekin tadi dan menyodorkannya sandal tersebut.

Seperti anak yang baru bisa berjalan, juga yang tidak nyaman memakai alas kaki, ekspresinya tampak enggan memakainya.

"Hari ini libur? Tidak kerja sambilan lagi?" tanya kembarannya.

Kirana duduk di bangku panjang yang menghadap meja yang di atasnya berserakan pot serta tanah.

"Kupikir kau tidak suka aku bekerja sambilan.. Orchidee..," balasnya pelan.

Gadis yang dipanggilnya Orchidee itu langsung mengambil duduk di seberang Kirana.

"Aku cuma khawatir." Dia mengangkat bahu. "Kau selalu tampak sakit. Biasanya kau hanya berdiam dalam ruangan. Aku hanya takut kau tiba-tiba pingsan setelah bekerja delapan jam dalam sehari. Fellon yang memberitahu."

Kirana mengambil segenggam tanah dari sak kertas lalu menaruhnya ke dalam pot baru.

"Tapi setelah beberapa hari ini.. aku menyerah," kata Orchidee yang kemudian menopang dagu dengan kedua tangan. "Kau kelihatan bahagia."

Hening sejenak. Kirana menunggu sampai tanah dalam potnya cukup untuk menanam bibit tanaman mawar yang baru. Dia tetap diam sampai akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum.

"Sangat.. bahagia.."

***

Chan sedang ada di rumahnya. Dia tinggal bersama dengan adik perempuannya yang baru duduk di bangku SMP. Karena hari ini bukan jatah dia bekerja, laki-laki itu berencana di rumah saja untuk membereskan pekerjaan rumah. Dia biasa melakukannya ketika hari libur. Saat menggeledah ransel, Chan mengerutkan kening mendapati celana jeans-nya menjelma menjadi celana yang dalam kondisi yang bagus, bahkan seperti kembali baru. Jahitan-jahitan yang menghiasi celana jeans-nya dulu telah lenyap.

Itu bukan miliknya, batin Chan bingung. Apa mungkin milik temannya tidak sengaja masuk ke sana?

Chan menggeledah ranselnya lagi, sampai-sampai isi ransel itu dia tumpahkan semua ke lantai. Kerut di dahinya bertambah karena dia tidak menemukan jeans lusuhnya. Laki-laki itu pun tertegun sembari menatap aneh ke jeans baru tadi. Tangannya lalu meremas-remas celana itu, dan mendadak dia menemukan secarik kertas yang terselip di sakunya.

Milikmu.

Satu kata yang tertulis di sana langsung membuat alis Chan bertaut lagi. Siapa? Dia membatin. Apa maksudnya mengganti jeans lusuh Chan dengan celana sejenis yang baru?

***

Laki-laki itu melangkah menyusuri jalan lengang ketika langit masih agak gelap. Pukul empat pagi. Tubuhnya lalu berhenti tepat di depan pintu rumah makan tempatnya bekerja kurang lebih enam bulan ini. Benaknya melamun. Dia memutar kunci dalam keadaan setengah sadar. Setelah pintu itu dibuka, dia masuk lalu menutupnya. Mendadak dia terkesiap keras melihat sesosok perempuan berambut hitam dan berbaju putih menempati meja di sudut ruangan. Saat menyipitkan mata, memperhatikan gadis itu baik-baik, barulah Cakra bisa menarik napas lega.

"Waktu aku masuk tadi, pintunya masih terkunci," katanya dengan nada memprotes sambil menunjuk ke arah pintu.

Kirana yang saat itu tengah mengelap satu per satu piring, balas memandangnya tanpa ekspresi.

"Aku punya kunci cadangan..," tanggap gadis itu pelan.

Cakra yang sebenarnya kesal lalu mengangguk-angguk sembari menenangkan jantungnya yang sempat memompa dua kali lebih cepat. Melihat tidak ada orang selain mereka di sana, laki-laki itu menghampiri Kirana lalu duduk di depannya setelah menyampirkan tas selempangnya ke pinggiran sandaran kursi.

"Kau selalu berangkat sepagi ini?" tanya Cakra.

Pandangan Kirana beringsut ke bawah, mengamati piring yang sedang dia lap. Tanpa menatap Cakra, dia menjawab.

"Aku terbiasa bangun pagi.."

"Tetap saja," ujar Cakra tidak habis pikir. "Ini baru jam empat lewat sedikit. Memangnya kau bangun jam berapa? Tidak seperti penampilanmu, sepertinya kau tipe pekerja keras ya? Apa kau tidak merasa sayang bekerja di sini, bukannya pergi ke sekolah?"

"Aku tidak pernah sekolah.."

Cakra mengerjap.

"Apa?" Dia terkejut. "Nggak mungkin. Orangtuamu tidak pernah mendaftarkanmu ke sekolah? Atau... keluargamu tidak bisa membiayai makanya kau bekerja?"

Kirana diam. Dia memandang pantulan wajahnya sendiri di permukaan piring yang mengkilap.

"Maaf," ucap Cakra. "Nggak seharusnya aku mengomentari seperti tadi."

Keduanya lalu saling diam, sama-sama berselimut kekakuan. Tanpa Cakra sadari, Kirana mengamati wajah laki-laki itu lagi. Pandangan itu menelisik tiap perubahan pada air muka Cakra.

"Kenapa gelisah..?" tanya Kirana kemudian, matanya turun lagi pada piring yang dia lap.

"Hah?"

"Kau sedang gelisah.. ada yang membuatmu khawatir.."

Cakra mengerutkan kening. Sesaat kemudian dia tersenyum getir.

"Apa sejelas itu dari wajahku?" Dia bertanya. "Yah... sayang sekali aku tidak bisa memberitahumu. Tapi terimakasih sudah memperhatikanku. Aku harus siap-siap di dapur."

Cakra beranjak berdiri. Kirana melihat sosok belakangnya setelah dia menyampirkan kembali tas selempangnya di bahu. Sebelum Cakra masuk ke dapur, dering ponsel langsung mengalihkan perhatiannya. Laki-laki itu mematung di tempat ketika menatap layar benda kecil itu. Kirana mendengar dia berdecap lalu terang-terangan mendengus keras. Dia bahkan melayangkan pukulan pelan ke dinding.

Laki-laki itu punya masalah—siapa pun tahu. Kirana tidak melihat apa pun yang bisa menjadi alasan dia untuk membantunya, jadi... lebih baik kalau gadis itu tidak bertanya lebih jauh lagi dengan meneruskan pertanyaan tadi.

Tapi siapa yang sangka, Cakra kemudian berbalik menghampiri Kirana lagi. Dia menelan ludah dulu sebelum mengatakannya secara jelas, dibumbui sedikit rasa putus asa.

"Temani aku.. ke pesta. Aku akan membayarmu."

GlasshouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang