Rabu, 13 November 2013.

25 2 0
                                    


Pagi berselimut kabut yang pekat, akibat kebakaran hutan di Pekan Baru. Pandanganku tak lebih dari sepuluh meter sambil mencari taxi di depan hotel yang kutempati semalam. Bertukar gaya berdiri beberapa kali sambil menunggu taxi yang tak kunjung terlihat, membuatku memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumah Bayu yang berjarak lumayan jauh dari hotel.
Berjalan di trotoar dengan banyak pikiran membuatku seperti seseorang yang kehilangan arah di tengah pekatnya kabut asap.
Walaupun aku memiliki rasa kepada Bintang, aku tetap sahabat Bayu. Aku juga tak ingin menjadi perusak hubungan mereka, aku tak ingin persahabatan kami hancur karena keegoisanku. Semalaman kuputar otak untuk mencari solusi yang tak kunjung kudapati.
Seiring berjalan mendekati rumah Bayu membuat jantungku berdendang dengan tempo yang semakin cepat. Ayunan langkah kakiku, mulai disaut dengan ayunan langkah kaki orang-orang yang tadinya tak terlihat, karena memang semua kendaraan tidak diperbolehkan melaju di jalan raya sebelum keadaan membaik, semua aktifitas kantor dihentikan untuk hari itu.
Pagar besar rumah Bayu mulai terlihat samar olehku, semakin kumelangkah, semakin kencang tempo dendang detak jantungku. Aku berjalan ragu mendekati pagar rumah Bayu dan tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang memanggilku.
“Eh uda Rizky, nginap dimana semalam da?” Satpam rumah Bayu membuka pagar yang terkunci gembok besar.
“Eh uda,” aku sedikit tersenyum, “Aku nginap dihotel da, bandingin kamar di sini sama di hotel, ternyata lebih bagusan disini uda.” Jantungku serasa ingin copot mengira itu adalah Bayu.
“Uda ini, ada-ada saja, masuk da, masuk.” Sambil kembali menutup pagar.

Dari kejauhan aku melihat seseorang duduk di atas kursi roda dengan setitik cahaya bulat diujung jemarinya.

“Siapa itu da?” Tanyaku pada satpam.
“Itu Bayu da, dari tadi aku lihat dia diam di sana uda, mungkin lagi ada masalah sama uni Bintang.”
Aku ayunkan langkah ragu menuju pria berkursi roda dengan cahaya kecil bulat diujung jemari yang terkadang mendekati wajahnya.

“Astaga! Bayu!” Langkah kecilku berubah seketika, aku bergegas memadamkan rokok yang dihisapnya.
“Apa yang kamu lakukan? Aku belum selesai.” Nada yang ditekan dan mata Bayu  setengah terpicing.
“Sudah jelas-jelas di kemasan rokok itu ada gambar yang seram akibat merokok, masih saja kamu merokok.” Sambil memutar-mutar sepatuku memadamkan rokok lelaki ini.
“Apa urusanmu? Kalau pemerintah ngelarang kenapa ngga sekalian aja semua pabrik rokok di tutup. Kenapa?” Alis matanya meninggi dari biasa.
“Bayu, Bayu, kalau pemerintah tutup pabriknya, itu bakal menutup sebagian pemasukan keuangan negara, nah supaya semuanya aman, ya buat para perokoklah, yang sadar sendiri.”
“Kamu senangkan kalau aku mati, kamu bisa deketin Bintang dengan mudah, iya kan?”
Aku terdiam mendengar perkataan Bayu, aku tak menyangka Bayu bisa berbicara seperti itu.
“Iya kan?” Tanya Bayu kembali.
“Bay, kamu jangan berpikiran seburuk itu terhadapku. Apa yang disampaikan Bintang tadi malam itu benar dan aku kesini untuk menjelaskan semuanya. Karena rasa penasaran akan asal mula kalian jadian, jadi seburuk ini, aku tidak mungkin mau menikam temanku, aku bukan orang seperti itu, kita kenal sudah lama Bay.”
“Alah alasan. Orang bisa berubah dalam sekejab mata, apa lagi menyangkut seorang wanita. Sekarang jawab aku jujur, kamu suka Bintang?” Bayu mulai menurunkan tensi bicaranya.
“Bay, kita bukan anak SMA lagi, tolong pikiranmu jangan seburuk itu terhadapku. Aku tahu kamu sedang dalam masalah. Jangan...”
“Jawab pertanyaanku!” Bayu membentakku dan berdiri dari kursi rodanya.
“Bay, duduk, kita selesesaikan dengan kepala dingin.” Aku mencoba memegangi tangan Bayu dan menekan pundaknya agar kembali duduk.
“Apa pedulimu?!” Bayu menyeka tanganku dari pundaknya, tatapannya penuh amarah.
“Ok! Kamu mau aku jawab apa?” Aku berpaling dari hadapan Bayu dan membelakanginya.
“Aku mau jawaban yang jujur.” Nada bicara Bayu kembali turun.
“Siapa yang tidak suka sosok wanita cantik, baik, santun dan perhatian seperti Bintang. Karena itu, aku minta dengan sangat, supaya kamu tetap bersamanya, kalian itu serasi, kalian itu pasangan yang saling mengisi satu sama lain, aku..” Aku mendengar suara kursi roda yang jatuh.
Bayu tergolek lemah di lantai dengan kepala yang besimbah darah. Keringatku bercucuran melihat darah yang bersimbah di lantai teras rumah Bayu. Rasa mual karena darah membuatku terjatuh lemah. Aku tak berdaya mengangkat Bayu yang tergeletak di lantai, untungnya ada satpam yang berlari menolongku  mengangkat Bayu masuk kedalam rumah. Seisi rumah mendadak panik melihat Bayu yang terbaring lemah di atas sofa dengan bercucuran darah. Jariku menari lemah di layar gadget, mencari nomor telfon ambulan, sedangkan Mama Bayu jatuh pingsan melihat kondisi sang anak, Icha mencoba menekan luka Bayu yang tak hentinya mengeluarkan darah.
“Liu liu liu.” Suara sirine ambulan mulai mendekat. Terlihat dari jauh lampu mobil ambulan yang samar tertutupi kabut asap.
Bayu dan Mamanya digotong masuk ke dalam ambulan. Aku lemah, tak bisa menolong satpam dan petugas abulan menggotong ibu dan anak ini, aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Bayu yang tadinya masih menatap Mamanya dengan mata yang berkaca-kaca, memejamkan matanya. Semua kejadaian ini membuatku panik, aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat.
“Bintang, Bayu terjatuh dari kurisi rodanya, sekarang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Pesan yang kukirim untuk Bintang.
Tegakku sepoyongan, aku berdiri dengan kaki yang tak tegap. Aku ditinggal bersama satpam, semua orang masuk menaiki ambulan. Aku bingung harus bagaimana, sementara kulihat keluar pagar, kabut asap semakin tebal.
“Uda, uda ngga ikut kerumah sakit?” Satpam menepuk punggungku dari belakang.
“Iya uda, tapi aku harus pergi dengan apa? Sementara rumah sakit sangat jauh dari sini.”
“Motor saya ada kok uda.”
“Bagaimana dengan larangan mengemudi?”
“Inikan dalam keadaan darurat, kalau udah hati-hati, saya pikir akan baik-baik saja.”

HalfheartedlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang