Dan, ternyata,
kesuksesan di dunia ini
adalah tentang merasa cukup.
Sederhana, tapi tak benar-benar sederhana.
***
Hari ini, aku berjalan. Dan, ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat masa lalu.
Tentang aku yang tak punya pilihan lain selain jurusan kedokteran.
Karena, dulu, kupikir, kedokteran adalah satu-satunya jurusan yang bisa menjamin masa depanku dengan bergengsi: Kuliah, lulus, kerja di rumah sakit, melanjutkan Pendidikan Kedokteran Spesialis, kembali ke rumah sakit lagi, hingga buka praktik di dekat rumah, selamanya terjamin.
Dan, begitulah yang orang-orang dongengkan tentang jurusan kedokteran: Segalanya akan terjamin, suatu saat nanti.
Namun, aku tahu batas kemampuanku. Aku bukan murid nomor satu di kelas. Biologi bukan pelajaran favoritku. Aku bahkan tak memiliki ketertarikan mempelajarinya lebih dalam. Biayanya terlalu besar untuk finansial keluargaku. Aku akan menyiksa diriku sendiri jika memilih jurusan kedokteran.
Jadi, aku mencari pilihan lain.
Jika aku harus jujur kepada diriku sendiri, aku ingin memilih jurusan yang berhubungan dengan pendidikan. Pendidikan Matematika atau semacamnya. Sebab aku senang mengajar, aku suka Matematika. Tetapi, orang-orang di sekitarku tidak menyetujuinya. Gaji guru kecil, kata mereka, nanti dia sudah naik mobil, kamu masih naik sepeda. Aku yang polos dan terombang-ambing, hari itu, menyetujuinya.
Jadi, aku mendengar tawaran mereka. Yang katanya menjamin.
Teknik Pertambangan. Kalau kerja, gajinya gede, kata orang-orang. Namun, membayangkan bekerja di tengah laut menyiksaku. Aku takut berlayar dan terbang dan apa pun yang berhubungan dengan laut, bawah tanah, dan sisi misterius dari alam. Dan, aku bukan menyerah pada sesuatu yang belum kucoba: Aku tahu batas kemampuanku. And, I don't wanna hurt myself for money.
Hukum. Nanti lanjut jadi notaris, enak deh hidup kamu, kata orang-orang. Namun, sungguh, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pelajaran yang aku paling buruk di kelas. Selain itu, apa pun yang berhubungan dengan politik tak pernah menarik hatiku. And, I don't wanna lie to myself.
Ilmu Komputer, Teknik Informatika, atau Sistem Informasi. Jaman sekarang lagi dibutuhkan banget, kata orang-orang. Membayangkan bekerja di depan komputer tampak nyaman, bagiku. Jadi, aku mengambil satu dari jurusan ini.
Di tahun-tahun pertama, aku merasa jurusan ini di luar ekspektasiku. Aku merasa salah jurusan. Aku merasa lebih cocok bila aku berada di jurusan Sastra. Memang, aku tergugah dan mendapat nilai sempurna di kelas Kalkulus, Aljabar, dan mata kuliah yang berhubungan dengan perhitungan, tetapi, sesungguhnya, hatiku tak pernah tertarik pada mata kuliah inti. Namun, aku sudah basah. Aku tak boleh mundur. Maka, aku belajar menyukai apa yang tidak kusukai. Aku berusaha memahami apa yang tak kupahami. Things went by. Aku menjalani skripsi dengan hasil sempurna, yang membuat dosenku berkata, "Lanjut S2 saja kamu." Dan, itu semua terbayar: Aku lulus kurang dari empat tahun. IPK-ku cum laude.
Jika kesuksesan adalah mendapat deretan nilai sempurna, dukungan dosen untuk melanjutkan kuliah, IPK cum laude, maka aku sudah sukses.
Sayangnya, kesuksesan tidak sedangkal itu. Perjuangan yang sesungguhnya baru terjadi setelah kita lulus. Dan, satu-satunya yang kuketahui setelah lulus adalah... aku tak ingin memiliki pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku. Ini adalah strategi terbodoh, aku tahu. Jurusan ini dibutuhkan di banyak bidang di Indonesia. Namun, nanti, setelah kamu lulus, kamu akan tahu betapa berbedanya dunia pekerjaan dengan apa yang kamu pelajari di bangku kuliah. Keahlian dan minatku, saat itu, terletak pada pemahaman algoritma, sistem analisa, dan hal-hal yang cenderung akademik. Namun, di Indonesia, pasar untuk jurusan ini sangat berbeda dengan apa yang kuminati. Kantor-kantor di Indonesia membutuhkan sesuatu yang sebenarnya umum dan mudah, seperti pengembang web dan aplikasi, yang sayangnya bukan keahlianku, bukan sesuatu yang kuminati. Aku tak ingin datang ke sebuah perusahaan, berbohong kepada diriku sendiri dan pada perusahaan, bahwa aku akan menyukai ini. Because I won't.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa
Non-FictionDia diterima di jurusan kedokteran. Dia yang lain lanjut kuliah di luar negeri. Dia yang lain lagi mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama. Dan, kita ingin menjadi mereka. Namun, apakah kesuksesan sedangkal itu? Mari telusuri buku ini dan patahk...