*
There is so much more to life.
Hidup ini bukan sebatas nilai dan peringkat yang mereka banggakan sewaktu sekolah.
Hidup ini bukan sebatas almamater dan deretan prestasi yang mereka banggakan sewaktu kuliah.
Hidup ini bukan sebatas saldo di ATM yang mereka banggakan diam-diam sewaktu kerja.
Hidup ini bukan sebatas bangun, tidur, makan, menikah, punya anak, menanti mati.
Hidup tak seremeh itu.
*
Mengapa hidup jadi sedangkal ini—belajar semalaman penuh hanya karena terobsesi dengan nilai dan peringkat?
Namun, saat aku yang duduk berjam-jam berusaha memahami dan menghafal teori ini-itu, aku tak pernah mendapat hasil terbaik di kelas. Remedial seakan jadi teman baikku. Tugas-tugas terkadang terlalu sulit buatku. Aku bahkan tak paham maksud dari soal-soal tersebut. Lalu, aku juga tak suka ujung dari semua: ujian akhir. Proses belajarmu selama bertahun-tahun divalidasi oleh satu ujian yang hanya dilaksanakan beberapa hari; tak merepresentasikan bertahun-tahun yang kamu habiskan di bangku sekolah. Gagal di hari itu, gagal pula tahun-tahun yang kamu perjuangkan untuk belajar.
Sekolah ini jadi tak ada arahnya. Hanya nilai dan ranking yang jadi obsesi. Belajar mata pelajaran yang tak benar-benar diminati.
Duh, capek sekolah kayak gini terus. Pengin cepat-cepat lulus. Segera kuliah. Biar bebas. Kalau pun banyak tugas, setidaknya, bisa belajar yang difokusin untuk masa depan aja.
Dan, di sanalah kamu berada: melangkah menuju gerbang kampus.
Pepohonan rindang dan lapangan yang luas, orang-orang baru berjalan bergombolan dan tertawa, yang lain duduk di gazebo bersama laptop-laptop, mendiskusikan sesuatu, dan kamu tahu kamu akan menikmati tahun-tahumu di sini.
Lulus tiga setengah tahun, IPK cumlaude, ikut organisasi dan kepanitiaan...
Semester satu-dua; semua terasa baru. Tugas-tugas yang berbeda dari masa-masa sekolah, yang membutuhkan kemandirian mendalam, membuat kepala pening, belum lagi homesick yang datang tiba-tiba saat sedang berjalan sendirian, tetapi masih ada teman-teman yang menyenangkan di sisimu, sehingga semua terasa baik-baik saja — meskipun sedang tak baik-baik saja.
Semester tiga-empat; sudah terbiasa dengan tugas menumpuk. Sayangnya, drama-drama mulai terjadi di sini. Teman-teman dekat mulai berjarak. Beberapa bertahan. Sebagian menghilang. Namun, melangkah ke kampus tak pernah seringan ini, di semester ini.
Semester lima-enam; perang ketiga dimulai. Mata kuliah dan praktikum yang semakin berat. Tugas-tugas yang semakin gila-gilaan — sampai malam di kampus sudah biasa. Teman-teman yang tak pernah selalu ada. Mencari-cari tempat magang tapi tak kunjung ketemu. Setelah menemukan, malah kesulitan mengatur waktu dan mengatur hati yang lelah bersama drama di kampus dan di tempat magang.
Di saat-saat seperti ini, kamu bergumam,
"Ya ampun, capek gini terus. Daripada kuliah, mending kerja aja lah. Ngerjain tugas, dapat duit. Nah ini, dapat lelahnya doang."
Dan, di sinilah kamu berada: di kubikel perdanamu. Bersama laptop di hadapanmu disertai tugas-tugas baru. Senior-senior yang begitu welcome—pada awalnya. Mereka melangkah dengan pakaian-pakaian stylish, secangkir kopi di genggaman, bergosip dan tertawa; little did you know they were talking about you. Lalu, tugas kantor semakin menggila, bos yang terlalu menuntut ini-itu, dirimu yang merasa tak bisa memberi lebih ke perusahaan, deadline yang tak kunjung berakhir, lembur di setiap minggunya. Gaji ini tak mampu membayar rasa letih mental dan pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa
No FicciónDia diterima di jurusan kedokteran. Dia yang lain lanjut kuliah di luar negeri. Dia yang lain lagi mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama. Dan, kita ingin menjadi mereka. Namun, apakah kesuksesan sedangkal itu? Mari telusuri buku ini dan patahk...