Aku harus bagaimana? Aku tak sengaja menekan tombol "panggil" pada nomor yang masih tersimpan di ponselku. Aku gugup. Berharap kamu tidak mengangkatnya. Entah apa yang kupikirkan hingga menghubungimu.
Sudah 5 tahun. Aku sangat bersyukur karena nomormu masih aktif hingga kini. Tapi sungguh, aku tidak tau apa yang harus aku katakan jika kamu mengangkat teleponku. Kurasa kenangan lama yang memaksaku menghubungimu.
Mungkin telingaku yang rindu mendengar suara kecilmu. Mungkin hatiku yang rindu akan bahagia yang kamu berikan. Atau mungkin, diriku yang rindu akan sikap lucumu.
Kubenci rindu ini, namun ku juga menyukainya karena telah memaksaku untuk menghubungimu. Rasa rindu yang berhasil melawan ego dan gengsiku.
Tiba-tiba..."Halo, assalamu'alaykum." Terdengar suara di seberang sana. Aku gugup. Aku mulai menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal dengan tangan kananku.
"Waalaykumsalam," jawabku, dengan suara yang gemetar.
Suaranya kecilnya sangat menenangkan telingaku yang rindu.
Hening, yang terdengar hanyalah hembusan napasku. Ini sungguh kikuk, aku tidak tahan."Mmm, apa kabar Vin?" tanyaku, berusaha setenang mungkin meski jantungku berdegup sangat kencang.
"Baik, kamu apa kabar Ka?" tanyanya. Suaranya tidak terdengar gemetar sama sekali. Aku tersenyum kecil.
Kemudian aku teringat hari-hari yang kulalui bersamanya. 5 tahun lalu. Di penghujung hari yang selalu kami lewati dengan melihat tenggelamnya sang surya. Seakan tak ada rasa bosan yang menghampiri kami untuk menyaksikan hal itu. 4 tahun penuh pelangi, penuh hitam dan putih, juga penuh dengan rintik hujan. Lagi-lagi aku tersenyum kecil.
"Aku juga baik, it's been a long time right?" ujarku, berusaha mencairkan suasana. Terdengar tawa kecilnya di seberang sana.
"Iya, udah lama Ka," jawabnya. Membuatku tersenyum kembali.
"Tiba-tiba aku teringat lagu Hey Jude, Vin," ujarku lagi, masih dengan senyuman yang terukir di wajahku yang biasa-biasa saja.
"Ih udah lama banget Ka, ya ampun!" tawanya meledak. Membuatku juga ikut tertawa.
"Kamu nggak lupa buat ngejar mimpi kamu 'kan Vin?" tanyaku, berharap ia mengatakan "tidak".
"Nggak lupa kok. Aku bakal ngerasa bersalah sama kamu kalau aku lupa Ka," jawabnya, sendu. Namun hatiku lebih sendu mendengarnya.
"I'm fine. Asal kamu berhasil raih impian kamu dan jadi apa yang kamu inginkan Vin," ujarku, dengan senyum yang meskipun ia tidak bisa melihatnya namun aku tetap melakukannya.
Percakapan kami kemudian mengalir begitu saja. Hingga di detik-detik akhir percakapan kami.
"Semoga kita berdua baik-baik aja ya Ka. Bisa raih impian kita, bisa bahagiain orangtua kita, dan bisa buat diri kita sendiri bahagia. Aku mau kita berdua sukses, bukan cuma aku Ka. Aku mau kamu juga bisa raih impian kamu. Kelak, nanti kalau kita memang jodoh, kita pasti akan dipertemukan di akhir cerita. Jadi pengisi akhir cerita yang bahagia.
Aku rindu kamu Kaka, senang banget karna kamu telepon aku hari ini. Aku jadi kuat lagi buat hadapi rintangan di depan aku. Kalau kamu ingat aku, kalau kamu ingat kenangan kita, jangan terlalu rindu ya Ka. Aku mau rindu ini nanti bakal terbayar sama impian kita. Jadi.. jadi.." kata-katanya terpotong. Aku mendengar isak tangisnya. Aku menundukkan kepalaku, menahan air mata yang juga hendak jatuh."Vin, i'm fine. Aku nggak bakal terlalu rindu. Tapi kamu juga nggak boleh terlalu terbebani sama aku ya. Jangan maksain diri kamu, kamu harus selalu sehat. Kalau kamu sakit aku mungkin bakal gila di sini.
Jadi.. ayo kita sama-sama berjuang. Ayo kita sama-sama berusaha buat akhir cerita kita jadi bahagia, meskipun kita tidak bersama," ujarku, berusaha menguatkannya dan diriku sendiri. Dia masih terisak. Aku jadi ingin memeluknya jika seperti ini."Vin, mau nyanyi Hey Jude bareng nggak?" tawarku padanya, agar dia berhenti menangis. Karena aku tidak kuasa jika harus mendengarnya terus-menerus. Aku pun memulainya tanpa menunggu jawaban darinya.
"Hey Jude, don't make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better......"
Kudengar suaranya yang masih bergetar ikut bernyanyi bersamaku. Lalu akhirnya kami tertawa bersama setelah menyanyikan lagu itu.
"Terimakasih banyak ya Kaka, untuk semuanya. Untuk 4 tahun kita. Untuk kamu yang selalu kasih suntikan energi ke aku dengan candaan kamu. Kutunggu kamu, Kaka Mahendra."
Aku senang akhirnya dia tidak menangis lagi. Aku memang merindukannya, namun aku tak bisa mendekat. Aku memang menyayanginya, namun aku tak bisa apa-apa. Aku hanya bisa merindukannya dalam diam, menyayanginya dari kejauhan dan mendoakannya di setiap akhir sholatku.
"Jadi, suatu hari nanti di ujung ceritaku. Aku berharap aku akan melihatmu di sana, Viennandia," ujarku, mengakhiri sambungan teleponku dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuangan Rasa
Short StoryKumpulan rasa yang tertuang, bukan yang terbuang. Tuangan rasa yang memiliki banyak arti, bukan satu dua arti. Kutulis ini dari hati dan pikiran yang tengah rindu dan sendu. Akankah ada yang menyukainya? Seperti hatiku yang menyukai rindu dan sendu...