Terperangkap Tanpa Rasa

6 0 0
                                    

Bintang itu bercerita padaku, bahwa ia sedang merindukan seseorang. Aku tidak berpikir aku gila, karena memang itu yang dikatakan bintang padaku.

Bintang itu bercerita, bahwa ia lelah terjebak dalam gelapnya malam, bahwa ia lelah menemani bulan yang bahkan tidak ingin bicara dengannya, dan bahwa ia lelah terjebak di antara banyak bintang lainnya yang lebih indah.

Bintang itu lelah.

Kemudian bintang itu bertanya padaku, "Apa kau tau kenapa aku terjebak di atas sana?".

Aku menggeleng, tidak tahu jawabannya.

"Karena hanya di atas sana aku bisa bersinar."

Aku tidak mengerti, kenapa?

"Karena mereka adalah latarku. Latar yang membuatku terlihat bersinar, terlihat indah, dan dikagumi semua orang. Tanpa mereka, aku bukanlah apa-apa," sambungnya.

"Lantas kenapa kau lelah? Bukankah seharusnya kau senang? Mereka mau menjadi latarmu."

"Bagaimana aku bisa senang, jika setiap malam mereka membicarakanku. Jika setiap malam mereka mengeluh padaku."

"Memangnya mereka bilang apa?"

"Mereka juga ingin bersinar sepertiku, mereka lelah menjadi latar untukku."

"Itu memang takdir mereka. Kenapa mereka harus mengeluh?"

"Kau tak tahu apa-apa."

Ya, aku memang tak tahu apa-apa.

Dalam menjalani hidup ini, aku hanya mengikuti alur sebagaimana mestinya. Berjalan di jalan yang telah ada, tanpa perlu memikirkan mengapa dan bagaimana aku bisa berjalan di sana.

Lurus, hidupku lurus.

Aku hanya tak mau ambil pusing atas hal seperti itu. Lagian, kenapa pula aku harus memikirkannya? Bukankah aku hanya harus berjalan di jalanku, tanpa perlu banyak bertanya dan protes? Sekalipun terkadang hidup tidak adil, dan membuatku jatuh.
Tapi memang seperti itulah hidup 'kan?

"Jadi kau tidak pernah memperjuangkan sesuatu?" tanya bintang itu, seolah tau apa yang kupikirkan.

Ya, memang dia bintang 'kan.

Bintang yang selalu mendengarkan keluh kesah meski tak diucapkan langsung oleh bibir manusia.

Tidak.
Untuk apa aku memperjuangkan sesuatu jika pada akhirnya hal itu memang bukan untukku. Bukankah itu sama saja melakukan hal yang sia-sia? Kau sama sekali tidak mendapat keuntungan apapun, dan justru membuang banyak waktu karenanya, gumamku dalam hati.

"Pikiranmu dangkal."

Aku diam saja, tidak berusaha untuk mengelak. Itu haknya berpikir seperti itu, aku tidak mau ambil pusing. Toh, yang tau dan merasakan hanya diriku sendiri.

"Pikiranmu itu salah besar," katanya lagi.

"Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku, hanya ingin tau.

"Lihat aku, dan lihat kelamnya langit yang menjadi latarku."

Aku diam, tidak mengerti apa maksudnya.

"Hanya melihat? Lalu apa?"

"Kenapa kau bodoh?"

"Bukan bodoh. Hidupku itu lurus, aku tidak tau segala hal yang tersirat, jadi bicaralah dengan jelas."

"Kau yang membuat jalan hidupmu begitu. Benar 'kan?"

"Hmm. Lalu apa? Kenapa?" Aku membenarkan ucapannya.

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa kau membuat hidupmu begitu?"

"Ingin saja. Aku hanya ingin hidup tenang, tidak peduli dengan omongan orang lain, dan terjebak dalam masalah."

"Kenapa?"

"Apanya lagi? Bicaralah yang je-"

"Kenapa kau berbohong?" Bintang itu memotong ucapanku.

Aku diam. 

Ah, aku lupa bahwa dia adalah bintang.

"Tidak apa-apa."

"Katakanlah. Aku sudah mengatakan masalahku padamu, jadi kau harus melakukan hal yang sama."

"Siapa pula yang membuat aturan seperti itu?"

"Aku, barusan."

"Kau tidak perlu tau. Lagipula aku tidak semudah itu percaya pada orang lain, apalagi menceritakan masalahku."

"Tapi aku bukan 'orang lain'."

Benar juga, dia 'kan bintang. Kenapa aku selalu melupakan fakta penting ini?

"Apa karena kau lelah?"

"Entahlah."

"Ceritakanlah. Bukankah manusia sering kali mengeluarkan keluh kesahnya seraya menatap bintang di langit, berharap agar kami mendengarnya."

Ingin sekali kujawab aku bukan 'manusia', tapi pada kenyataannya aku memang 'manusia'.

"Aku berbeda. Aku tidak suka mengeluh pada bintang di langit, apalagi pada manusia."

"Jadi apa kau menelan semuanya?"

"Hmm." Aku membenarkan ucapannya.

"Kenapa kau menelan semuanya?"

"Lalu aku harus bagaimana? Di dunia ini ada hal yang tidak bisa kau katakan meski kau ingin sekali mengatakannya."

"Tidak ada hal seperti itu."

"Ada, barusan aku membuatnya."

"Memang kau siapa?"

"Aku adalah penanggung jawab atas diriku sendiri."

"Tidakkah kau merasa berat?"

"Lalu kenapa? Salah jika aku memikul masalahku sendiri? Lagipula aku tidak merepotkan orang lain 'kan."

"Lagi-lagi, kau salah."

"Aku tidak peduli."

"Jika kau tidak ingin mengatakannya, maka bangunlah."

"Apa maksudmu?"

"Kubilang bangunlah."

Tiba-tiba seluruhnya gelap.

"Kamu sudah sadar?" tanya seseorang padaku.

Aku membuka mataku perlahan. Setelah pandanganku kembali normal, aku mendapati seorang wanita berpakaian serba putih duduk di sampingku. Dia tersenyum.

"Jadi, apa kamu sudah tau di mana letak bebanmu selama ini?" tanyanya.

Aku mengerutkan kening.
Kemudian aku sadar, dan terlempar pada kenyataan yang menyakitkan namun tak bisa kuobati sesakit apapun itu.

Ya, pada kenyataan hidup bahwa aku telah menderita depresi sejak 3 tahun belakangan.

Dan wanita itu, adalah psikiaterku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tuangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang