Apa aku langsung sebutkan saja namanya? Atau mungkin nanti saja. Biarkan aku sedikit bercerita dulu. Aku sendiri tidak mengerti. Aku menyukainya, dari jauh. Jauh sekali hingga aku mungkin tak bisa menggapainya. Seperti bintang, yang hanya bisa kupandang dengan ukiran senyum di bibir. Tak lebih.
Kau tersenyum lagi hari ini. Dari kejauhan, aku tersenyum bersamamu juga. Lelahmu, bahagiamu, semuanya jadi ikut bersamaku.
Kamu adalah sosok yang puitis, dan entah kenapa aku terhanyut dalam aksara pun lisanmu. Kamu memang pandai sekali membuat hati ini terbang, layaknya robekkan kertas kecil. Terbuai oleh sejuknya angin, rela untuk dibawa ke mana pun angin ingin berlabuh. Dan pada akhirnya ditinggalkan sendiri di tempat asing saat angin tak lagi membuai, dan menunggu angin lain datang untuk membawa robekkan kertas kecil itu entah ke mana.
Di dunia ini, aku akan menyayangimu lebih dari siapapun, sebagai penggemar tanpa wajah. Aku akan menyayangimu, seperti sekarang ini, sebagai penggemar tanpa wajah. Aku akan menyayangimu, entah sampai kapan, sebagai penggemar tanpa wajah.
Biar kunikmati komplikasi ini. Komplikasi yang membuatku menggila tanpa kuinginkan, yang barangkali membutuhkan perawatan dan pencerahan agar tidak semakin dalam.
I missing your face, Samiun Salim. Tubuhmu yang tidak begitu tinggi, dihiasi dengan kulit yang bisa dibilang putih, kemudian.. Kemudian senyum mempesonamu. Senyum yang mampu membuatku tersenyum pula dari kejauhan. Dan, ah.. rambutmu. Entah kenapa aku juga menyukainya.
Namun, entah kenapa beberapa hari ini kamu tak tertangkap oleh pandanganku. Dan itu membuatku rindu. Rindu sepihak yang membuat komplikasiku lengkap. Apa kamu menabur nikotin di wajahmu? Kenapa aku selalu ingin melihatnya lagi dan lagi?
Aku menyukaimu dengan hatiku yang hancur ini. Aku menyukaimu hingga aku tersesat di diriku sendiri. Dan aku menyukaimu dengan diriku yang serba kekurangan ini. Aku tak tahu apa yang akan ada di depan nanti, tapi untuk saat ini biarkan aku menikmatinya. Menikmati komplikasi ini, sendiri.
Bolehkah aku menjadi payungmu? Yang akan sedia jika kamu kehujanan, ataupun terjatuh di antara pilihan. Aku akan ada di belakangmu.
Bisakah kamu tidak membuat jantung ini menggebu-gebu? Aku sampai lelah menahannya. Ingin tersenyum namun aku terlalu takut. Kupikir, aku benar-benar menyukaimu.
Aku bukanlah sang penyair handal. Yang mampu mengungkapkan setetes rasa menjadi penuh makna. Aku hanyalah aku. Wanita tak berpendirian yang gampang jatuh pada pesona. Namaku? Nanti saja kuberitahu.
Aku ingin tahu seperti apa kepribadianmu, aku ingin tahu bagaimana hubunganmu dengan teman-temanmu, dan.. Aku ingin tahu bagaimana hubunganmu dengan sang kekasih yang sudah lama bersama. Banyak hal yang ingin kuketahui, namun aku menahannya. Aku siapa? Bukanlah apa-apa. Hanya gadis biasa dengan kantung mata yang membuatku tampak kusut. Aku terlalu jauh dengan dirimu yang bersinar, seperti bintang.
Sial, kenapa hanya dengan melihatmu dari jauh aku bisa bahagia dan jantungku tak terkendali? Wajahmu sejuk, seperti embun pagi. Memandangnya membuatku semakin berpikir, ah... Kamu sangat jauh.
Semakin hari, semakin rindu. Semakin kuredam rindu, semakin deras rasa ini mengalir. Semakin kumenyadari bahwa aku ingin dekat denganmu dan memutuskan jarak ini. Sekali lagi, aku sadar jarak kita terlalu jauh untuk didekatkan. Asal tahu saja, bintang yang bersinar dengan terang itu benar-benar jauh.
Lagi, aku mendengarkan lagu ini. Lagu yang kudengar jika aku merasa bahwa aku sudah terlalu jatuh padamu dan ingin menyadarkan diri kalau aku bukanlah apa-apa. Tak terelakkan air mata ini, namun aku hanya bisa menelan asa. Malaikat juga tahu, lagu dari Dewi Lestari.
Kenapa mengagumimu rasanya aneh sekali? Kenapa rindu ini selalu ingin melihat wajahmu?. Hujan sudah. Hujan rindu. Hujan rasa. Hujan hampa. Hujan jarak.
Dari hitam dan putih aku mengerti. Dari hujan dan angin aku mengerti. Dari jarak dan waktu aku mengerti. Dari kamu dan aku, aku mengerti. Mengerti akan keadaan yang sekarang sedang dan akan kuhadapi. Bahwa aku tidaklah seperti yang lain. Bahwa kamu tidaklah mudah digapai. Bahwa takdir mungkin tak menggariskan kita berada dalam satu ikatan.
Di pagi hari aku teringat dirimu. Akankah hari ini aku bertemu denganmu? Ah, jika bertemupun aku bisa apa. Aku tidak bisa menyapamu. Aku tidak bisa tersenyum bahkan jika aku berpapasan denganmu. Aku semakin tidak baik-baik saja sepertinya, karenamu.
Menjadi seseorang yang tak terlihat, tak bernama, dan tak berwajah. Sulit memang. Menahan euforia dari rasa membuncah ini. Lagi, sendiri.
Kucoba hentikan rasa ini semampuku. Kucoba tak candu oleh pesonamu. Namun ku tak mampu. Apa sebaiknya aku pulang saja? Pulang, dan menyerah. Menikmati sepi yang tak pernah bosan menghampiri. Atau apa aku terus saja melihat langit? Melihat bintang yang bersinar dari jauh. Membuat keinginan dan berharap kelak akan menjadi kenyataan. Tapi itu mustahil. Bintang tak mungkin jatuh tanpa sebab. Dan bintang tak mungkin jatuh semudah itu. Atau bisakah kau membantuku untuk membencimu?
Sekali lagi, aku menyukaimu. Meski hanya bisa kulihat dari jauh. Karena aku sadar, aku bukanlah apa-apa. Tak banyak inginku. Aku bahkan tak berharap bisa dekat denganmu sebagai teman. Karena mungkin aku tak tahan dengan rasa ini nantinya. Aku hanya berharap bahwa kita tetap seperti ini. Tidak saling mengenal. Hanya saling berpapasan sekejap lalu saling lupa. Tak pernah terhubung dengan siapa dan apapun. Sederhana saja. Namun mampu membuatku mengendalikan perasaanku sendiri. Memang, kau takkan pernah bisa memiliki bintang yang bersinar jika dirimu sendiri tidak bersinar.
Biarkan aku memanggilmu sendiri dalam sepi. Seperti angin menerbangkan dedaunan kering. Kenapa kita harus berbeda? Aku tidak ingin mendengar suara apapun untuk saat ini. Biarkan aku menikmati komplikasi ini. Biarkan hatiku yang bergetar ini memilih. Akankah memperdalam atau memperdangkal? Akankah berhenti atau melanjutkan? Kamu tak perlu khawatir, aku tidak akan menganggumu. Nikmati saja hidup bebasmu. Ini hanya perasaanku, yang takkan bisa menyentuhmu bahkan melukaimu. Jalani saja hidupmu. Ini komplikasiku. Biar kuurus, sebisaku.
Satu hal lagi, tolong jangan putus dengan pacarmu. Meskipun di bibir tersenyum, namun hatiku sedih jika kelak kamu putus. Cukup biarkan saja aku menjadi penggemar tanpa wajah. Cukup biarkan saja kamu tertangkap dalam pandanganku selalu. Dan cukup biarkan aku menyaksikan senyummu itu meski bukan untukku.
Juga, jangan sakit di mana pun kamu berada. Kalau memang sakit tak dapat terelakkan lagi, maka kamu harus berjuang untuk sembuh.
Bukan aku ingin menyerah begitu saja. Hanya saja tidak ada celah, dan aku tidak ingin membuatnya. Biarkan mengalir, pada hati siapa akhirnya kamu dan aku berlabuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuangan Rasa
Short StoryKumpulan rasa yang tertuang, bukan yang terbuang. Tuangan rasa yang memiliki banyak arti, bukan satu dua arti. Kutulis ini dari hati dan pikiran yang tengah rindu dan sendu. Akankah ada yang menyukainya? Seperti hatiku yang menyukai rindu dan sendu...