Manusia Agustus

7 1 0
                                    

Sudah pukul 22.30 WIB, tapi entah kenapa tubuhku masih betah duduk di jendela. Menatap malam yang kian kelam, bintang yang kian banyak, dan bulan yang kian terang. Tidak hanya tubuh, bahkan pikiranku masih betah menatap rumah biru di seberang sana. Pemiliknya sudah tidur, atau mungkin sedang berkamuflase.

Dia, si manusia Agustus adalah salah satu penghuninya.

Lampu kamarnya mati, jendelanya tertutup rapat dengan gorden berwarna gelap.

Ah, benar.

Kamar itu memang selalu begitu.Jendelanya tidak pernah dibuka, tirainya tidak pernah disingkap, lampu kamarnya tidak pernah menyala.

"Belum tidur ya?" Kudengar suara mas Ilham setelah bunyi pintu terbuka.
"Bentar lagi," jawabku malas.
"Jangan dipandangi terus Shen. Nggak akan ada yang berubah juga."
"Iya, tau."

Mas Ilham benar. Tidak akan ada yang berubah meski aku memandangi rumah itu setiap malamnya, karena si manusia Agustus tidak ada lagi di rumah itu.

Aku jadi teringat sebuah kejadian, di mana aku dan si manusia Agustus itu saling mengenal.

Mau aku ceritakan tentang manusia Agustus ini?

Dia berjenis kelamin laki-laki, 21 tahun, hidupnya serba ada dan serba bisa. Memiliki segudang bakat, dan segudang masalah.

Bukan, dia bukan lahir di bulan Agustus.

Dia lahir di bulan pembuka tahun, di hari ke 19. Manusia menyebalkan yang telah mengobrak-abrik hidupku, di bulan Agustus.

Ya, itu sebab dia kupanggil manusia Agustus.

Tetangga baru di depan rumahku 3 tahun yang lalu. Tetangga yang tiba-tiba melemparku dengan bola basketnya saat aku baru pulang kuliah.
"Nggak sengaja!" teriaknya saat itu.
Aku melemparnya kembali dengan sepatuku. Kemudian aku masuk ke rumahku, mengacuhkannya begitu saja. Kudengar dia berteriak, tapi aku tidak begitu mendengarnya.

Sebodo amat.

Malamnya, dia datang ke rumahku. Membawa sekotak martabak keju dan satu pan pizza. Entah darimana dia tau makanan favoritku.

Dia memang aneh.

Dia datang mengembalikan sepatuku, dan meminta maaf atas kejadian tadi sore.
"Nih bonusnya. Jangan marah, aku emang sengaja lempar kamu pake bola basket. Abisnya kamu nggak pernah nyapa aku, padahal kita tetanggaan," ujarnya saat itu.
Masih jelas kuingat bagaimana penampilannya saat itu. Baju kaos biru lengan pendek, lengkap dengan jeans belelnya. Rambut acak-acakan, dan wajah yang kusut.
"Apa susahnya sih nyapa?" kataku ketus.
"Kamu juga. Apa susahnya sih nyapa aku?" tanyanya balik padaku.
"Ya, malu lah cewek nyapa duluan."
"Nah itu, makanya aku nyapa kamu pake bola basket."
"Alasan."
"Jadi, siapa nama kamu?" tanyanya.
"Shena. Kamu?"
"Elovin, 21 tahun, cowok tulen, hobi makan, dan kedepannya bakal sering gangguin hidup kamu." Dia nyengir, seraya mengulurkan tangannya.
"Sok asik." Kutepuk tangannya yang terulur itu.
"Biarin."

Ya. Begitulah awal perkenalanku dengan si manusia Agustus ini.

Aku menghembuskan napas berat.
"Mas, kalau seandainya dulu Shena datang tepat waktu, apa dia bakal tetap ada di sini?" tanyaku lirih.
"Kamu udah nanya ini 100 kali." Mas Ilham berdiri di sampingku, merangkul bahuku yang mulai dingin karena angin malam.
"Apa ini salah Shena?"
"Nggak Shen,"
"Terus kenapa dia pergi?"
"Takdir. Bukan jodoh. Dan-"
"Dan Allah sayang dia?" potongku.

Ya, si manusia Agustus itu sudah pergi.
Ke dunia yang lebih kekal, lebih indah, dan lebih bisa melindunginya.

6 bulan setelah kami memutuskan untuk berteman. Setelah dia memberiku banyak warna, setelah dia membuatku berpikir luas tentang dunia, dan setelah dia mengatakan bahwa aku lebih dari seorang perempuan biasa baginya.

Ya, dia pergi meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku.

"Shena nggak marah sama Allah, tapi Shena marah sama diri sendiri. Kenapa Shena bodoh, kenapa Shena nggak ngerti sama apa yang dia rasain mas," lirihku pelan.
"Ini bukan salah kamu. Ini udah kemauan Allah. Kamu nggak perlu nyalahin diri kamu sendiri Shen," ujar mas Ilham pelan, sembari mengelus bahuku.
Mataku masih setia memandangi rumah biru itu. Penghuninya kini hanya tinggal orangtua dan adik dari si manusia Agustus.
Dan kamarnya, tidak pernah sekalipun dibuka sejak hari itu.

"Tidur yuk," ajak mas Ilham.
Aku mengangguk, kemudian berdiri dan berjalan ke tempat tidur.
"Mas, biarin aja jendelanya terbuka," pintaku, saat mas Ilham hendak menutup jendela.
"Mas nggak tanggung jawab kalau kamu masuk angin ya."
Aku memberinya isyarat 'oke' dengan jariku.
"Shen, kalau kamu serindu itu sama dia, kirim alfatiha aja," ujar mas Ilham, ketika ingin menutup pintu kamarku.
Aku menganggukan kepalaku.

Selalu.
Alfatiha itu selalu kukirimkan untuknya, si manusia Agustus.

Tuangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang