Terkunci dalam Waktumu

21 5 0
                                    

Termenung. Hanya suara burung yang kudengar di pukul 4 pagi ini. Kuteringat, dulu ketika aku membuka mata, ada kamu yang membangunkanku dengan wangi masakanmu yang enak. Sambil sesekali terdengar nyanyian kecil dari bibirmu yang tipis. Nyanyian yang mengiringi cahaya merah matahari saat subuh menyapa.

Aku hanya hidup sebagaimana berjalan, tapi aku tetap merindukanmu. Mengikuti cahaya yang ada, Bangun lalu terduduk diam. Kamu di mana? Aku rindu. Kenapa aku menangis?

Dulu, hanya ada kamu dan aku. Sekarang, setelah kau pergi aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku tidak lagi bisa bangun di pukul 4 pagi. Aku selalu terlambat pergi bekerja.
Kenapa aku selalu menangis tiap kali mengingatmu? Kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Meninggalkanku dengan kenangan dan kebahagiaan yang tak tersisa lagi.

Rindu. Menyayat ruang hati yang kusediakan untukmu. Kini, ruang itu sudah penuh luka. Tak lagi bisa disembuhkan ataupun ditutupi. Semua tampak jelas. Membuatku tak tahu harus bagaimana hendak menutupinya.

Setiap hari terasa senyap. Tak ada lagi nyanyian pagimu, tak ada lagi wangi masakanmu yang membangunkanku, dan tak ada lagi tubuh yang bisa kupeluk saat aku membuka mata dari lelap. Tak ada lagi dirimu.

Jadi, beginilah hidupku sekarang. Mengandalkan alarm untuk bangun, mengoles roti untuk sarapan, memakai pakaian yang sehari sebelumnya kujemput ke laundry.
Rumahku kini tak terurus, mengingat pekerjaanku yang berangkat pukul 6 pagi dan pulang pukul 8 malam. Benar-benar berantakan, seperti hidupku setelah kehilangan dirimu.

Pernikahan yang tidak seharusnya kita lakukan. Takdir yang seharusnya tidak kita lawan bersama. Pada akhirnya mengepung kita dengan kepedihan dan kerinduan. Membuat masing-masing dari kita merasakan sakit yang tak dapat terobati.
Aku selalu memikirkan saat aku memilikimu dulu. Aku sangat bahagia, kamu begitu cantik, pun dengan karaktermu yang membuatku nyaman. Aku ingin kembali ke hari itu, hari yang paling bahagia, berharga, berkesan.

Seandainya aku bisa membalikkan keadaan, seandainya aku bisa menahanmu di sini untuk terus bersamaku, melewati hari tua yang kelak menyapa kita. Aku juga memikirkan hal-hal yang dulu tak bisa kulakukan untukmu. Aku ingin kembali ke hari itu. Seandainya aku bisa melihatmu lagi. Aku benci diriku karena dulu begitu bodoh. Kini, aku terkunci dalam kenangan. Terkunci dalam waktumu. Hanya kenangan yang masih berputar di otakku.

Wurindah Permata. Orang yang membuat hatiku menangis. Orang yang tidak bisa kulupakan barang sehari. Orang yang kurindukan, dan orang yang ingin kulupakan pula. Kupikir hari ini aku akan menghabiskan sisa hari seperti biasa sejak kehilanganmu.
Terkunci dalam kenangan dan waktumu.

Orang yang memberiku segalanya. Orang yang peduli padaku melebihi yang kulakukan. Aku hanya hidup seperti ini, namun aku tetap merindukanmu. Aku menyesal karena dulu pernah membuatmu menangis.

Wuri, aku merindukanmu.

Aku tak tahu bahwa sakitnya akan seperti ini. Namun, aku meyakinkan diri agar bisa menghadapinya meskipun rasanya justru lebih sakit. Apa memang seharusnya kita tidak menikah kala itu? atau pilihan kita untuk menikah adalah pilihan yang benar?

Wuri, aku merindukanmu.
Bisakah kau beri aku jawaban?

Kupandangi bulan yang tak lebih terang darimu. Tiba-tiba suara nyanyianmu menyelinap ke dalam malam. Di bawah sinar rembulan aku memunguti kepingan diriku. Selangkah demi selangkah, aku berjalan melewati kepedihan ini. Akankah aku bisa?

Kupandangi pula undangan pernikahan kita 2 tahun lalu.

Renavi Hidayat & Wurindah Permata.

Masih tersimpan rapi di atas meja, juga dengan foto pernikahan kita yang menampilkan senyum manismu dengan gaun putih yang seolah menjadi pelengkap kecantikanmu. Kutahu kamu kini berada di tempat yang nyaman. Namun, coba dengar aku.

Orang yang kamu tinggalkan 6 bulan lalu. Orang yang selalu ingin memutar waktu dan menahanmu di sini. Orang yang selalu mencari cara agar penyakitmu sembuh. Orang yang selalu bersamamu tak peduli fajar menyapa ataupun sirna. Orang yang memasangkan cincin pernikahan di jari manismu saat itu. Akankah kamu tetap mengingatnya selagi kamu bahagia di sana?

Sekali lagi. Wuri, aku merindukanmu.

Tuangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang