"Menurutmu, apa warna dirimu?" tanyanya, sambil menatap birunya langit dengan mata sipitnya sore itu. Aku diam. Berusaha berpikir apa maksud pertanyaannya.
"Kenapa diam?" tanyanya lagi, karena tak kunjung mendapat jawaban dariku.
"Kalau aku.. menurutku warna diriku adalah hitam," ujarnya. Aku kini mulai mengerti maksud pertanyaannya.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Entahlah, itu hanya pemikiranku. Bagaimana denganmu? Kamu masih belum menjawab pertanyaanku." Aku mengernyitkan keningku setelah mendengar pertanyaannya.
"Mungkin.. biru?" jawabku, asal. Lalu kudengar hembusan napas kesalnya. Disusul dengan tawaku.
"Itu sih warna favorit kamu Li," ujarnya dengan nada kesal namun dengan senyum yang terukir di wajahnya.
"Lagian pertanyaan kamu aneh, mana ada warna di diri kita. Yang ada itu warna favorit kita Fir," ujarku membenarkan. Firla hanya mengiyakan perkataanku.
Aku kembali teringat Firla, sosok gadis yang sikapnya dewasa meskipun saat itu ia masih berumur 17 tahun. Dia cantik dengan matanya yang sipit dan bola matanya yang berwarna cokelat. Setiap kali dia tertawa aku selalu memandang matanya yang indah itu. Dia adalah teman dekatku saat SMA dulu.
Dulu.
Sebelum akhirnya kami memutuskan untuk tidak saling mengenal lagi.
Aku mengingat hal-hal yang kulewati bersama Firla semasa SMA, 2 tahun yang lalu. Semua yang kami lewati bersama. Semua yang pernah aku dan dia tertawakan bersama. Bahkan semua sedih dan bimbang yang kami lalui bersama. Benci. Bahagia. Sedih. Semuanya.
Kurindu.
Kurindu kehadiran Firla di sisiku. Kurindu kehadirannya yang selalu membuatku tertawa. Kurindu Firla meskipun kini ia mungkin membenciku. Kutetap rindu.
Ingin sekali aku bertemu dengannya, hanya untuk berkata "Fir, aku rindu". Tapi itu hanya anganku belaka. Aku tidak bisa muncul seenaknya di depan Firla setelah kejadian itu.
Tidak. Tidak bisa.
Keegoisanku. Kesombonganku. Itu semua lebih menyakitkan untuk Firla dibanding perasaan rinduku padanya kini.
Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku dan dia secara tidak sengaja bertemu di suatu tempat, entahlah. Entah apa yang akan terjadi. Tapi aku bisa membayangkan bagaimana reaksiku jika hal itu terjadi. Aku pasti akan menangis.
Sungguh.
Sosok Firla begitu berarti untukku saat itu. Dia selalu ada di sisiku. Saat aku bahagia, juga sedih. Dia selalu membantuku disaat aku butuh bantuan. Dia selalu membuatku tertawa dengan tingkahnya yang konyol. Sikap konyolnya membuatku betah berlama-lama bersamanya.
Konyol namun dewasa. Aku menyukai fakta bahwa ialah teman pertamaku saat masuk SMA. Aku tidak pernah menyesal sudah mengenal dan menjadi temannya. Tidak sekalipun. Karena ia begitu berarti untuk disesali.
Aku sering memimpikan Firla. Setelah aku memimpikan Firla malam itu, aku memutuskan untuk melupakan mimpi itu dan hanya menganggap bahwa itu hanyalah bunga dari tidurku yang tidak nyenyak malam itu. Namun, pagi harinya, aku teringat mimpi itu kembali dan air mataku jatuh meluncur begitu saja. Kurasa aku benar-benar merindukannya.
Tiba-tiba aku teringat percakapanku dengan Firla saat itu.
"Lian, kamu pernah bayangin nggak kalau kita berantem?" tanyanya, dengan wajah serius yang dibuat-buat.
"Enggak, buat apa dibayangin. Nanti kejadian," jawabku datar. Aku serius. Aku tidak ingin membayangkannya.
"Tapi entah kenapa aku punya firasat kalau kita bakal berantem Li," ujarnya, dengan wajah serius yang kali ini tidak dibuat-buat. Aku tertegun mendengarnya. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika aku bertengkar dengan Firla. Akan bagaimana keseharianku di sekolah nanti jika tidak bersama Firla? Hanya dia temanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuangan Rasa
Short StoryKumpulan rasa yang tertuang, bukan yang terbuang. Tuangan rasa yang memiliki banyak arti, bukan satu dua arti. Kutulis ini dari hati dan pikiran yang tengah rindu dan sendu. Akankah ada yang menyukainya? Seperti hatiku yang menyukai rindu dan sendu...