4 PM

26 6 0
                                    

Lagi. Hari ini, aku teringat kembali. Teringat sosok yang selalu bertemu di pukul 4 sore.
Kala itu takdir tidak pernah lelah mempertemukan kita, jam tidak pernah lelah untuk mengingatkan kita, dan hati selalu siap siaga untuk pukul 4 sore. Tapi, kujadi ingat. Pernah suatu kali, jam lupa mengingatkan kita. Ia membiarkan kita tenggelam dalam hiruk pikuk dunia masing-masing. Membuat kita lupa sekejap akan "waktu kita". Dan kujadi ingat, kali pertama kita bertemu yang mendadak membuatku merindu. Rindu yang sudah 2 tahun berlalu lalang di hatiku. Bermain-main dengan pikiranku yang harus kufokuskan untuk ujian skripsi.
Namun? Rindu tetap datang tak peduli gelap atau terangnya langit. Tak peduli penuh atau kosongnya pikiranku.

Jadi, di pukul 4 sore kita selalu bertemu saat itu. Janji? Tidak. Kita tidak pernah melakukannya. Untuk apa berjanji jika akhirnya ingkar? Untuk apa berjanji jika akhirnya tidak saling sua? Karena pada akhirnya ucapan bibir akan kalah dengan ucapan takdir.

Jalan yang selalu kulewati dengan kaki kecilku yang kokoh. Kali pertama, kali kedua, aku tak menyadarinya. Hingga beberapa kali sampai aku sadar. Bahwa ada kamu yang selalu duduk di sana saat aku berjalan melewati jalan itu. Jalan yang menghubungkan ruang kuliahku dengan ruang kuliahmu, pun yang menghubungkan garis di antara kita. Meski pada akhirnya garis itu perlahan terhapus oleh waktu. Tahukah kamu seberapa bahagianya aku tiap pukul 4 sore? Jika orang lain memiliki moodboster, maka saat itu adalah moodboster untukku.
Dulu.

Air mata ini sudah turun, kenangan yang tak bisa kulupakan barang sedetik. Jika dulu aku menyukai pukul 4 sore, maka tidak untuk saat ini. Aku membencinya karena mengingatkanku padamu.
Aku ingat, saat itu kita tidak saling mengenal satu sama lain, yang aku tahu kamu hanya lelaki yang selalu duduk di kursi pinggir jalan yang kulewati tiap pukul 4 sore, pun denganmu yang hanya tau bahwa aku gadis yang selalu melewati jalan tempatmu duduk itu tiap pukul 4 sore.
Sebatas mengenal wajah. Tak nama, tak asal, tak apapun. Bukan hanya dulu, sekarang pun begitu. Kita tak punya cukup nyali untuk saling membuka diri dan berkenalan. Kita bahkan tak pernah saling melempar senyum meski sudah saling tatap. Tatapan yang tidak dapat diartikan. Namun, saat itu hatiku selalu tersenyum meski tak diteruskan oleh bibirku.
Aku merasa bahagia bisa melihat wajahmu tanpa bisa mengukir senyum di sana, tanpa bisa tahu tentangmu. Angan hanyalah angan, yang tidak bisa kulihat bagaimana akhirnya.

Jadi, bagaimana kabarmu saat ini? Masihkah kamu suka membaca buku? Karena dulu yang kulihat kamu selalu membaca buku. Aku tidak tahu namamu, asalmu, tempat tinggalmu. Apapun itu. Namun, entah kenapa aku selalu berharap bahwa kamu tahu namaku.
Ah, bodoh.

Kenapa saat itu kamu menghilang? Aku tidak lagi melihatmu tiap pukul 4 sore, bahkan di jam-jam lain saat aku melewati jalan itu. Aku ingin sekali bertanya pada orang-orang yang kuyakini adalah temanmu. Namun aku tidak punya cukup nyali saat itu, yang kubisa hanya menangis saat sadar bahwa tidak ada lagi kamu yang selalu duduk di sana pukul 4 sore.
Pahit. Kamu membuatku terluka padahal aku tidak tahu apapun tentangmu. Kamu membuatku jatuh hanya dengan tatapmu yang tanpa senyum. Aku benar-benar mengingat hari itu dengan kuat. Hari itu, hari terakhir aku melewati jalan itu di pukul 4 sore. Sabtu.

Sejak itu aku tidak lagi menyukai pukul 4 sore. Setiap pukul 4 sore aku akan bermalas-malasan sambil menghela napas berat. Aku selalu ingin pukul 4 sore dihapuskan dari waktu. Atau setiap pukul 4 sore waktu berjalan dengan cepat.
Aku juga sudah tidak memakai jam tangan lagi sejak hari itu. Teman-temanku bahkan merasa aneh dengan diriku setelah kepergianmu. Dalam memang atau hanya aku saja yang merasakannya?

Hingga beberapa hari yang lalu, temanku menunjukkan sebuah foto padaku. Awalnya aku tidak begitu fokus melihat foto itu. Aku melihatnya hanya agar aku terlihat tertarik dengan apa yang sedang dibicarakan oleh temanku. Namun setelah beberapa kali kupandang, rasanya aku tidak salah. Aku yakin itu benar.

Diantara orang-orang yang ada di foto itu, ada kamu di sana. Lelaki yang selalu duduk di pukul 4 sore. Aku terkejut. Di sana kamu tersenyum lebar. Berbeda dengan kamu yang dulu kulihat di pukul 4 sore. Namun aku hanya bisa terdiam. Karena di foto itu, kamu sudah jauh.

Jadi, bagaimana rasanya di sana? Hidup di negara asing?

Tangisku pecah lagi. 2 tahun aku kehilangan dirimu di pukul 4 sore, 2 tahun aku tidak melihat raut wajah tanpa senyummu, dan 2 tahun aku tidak melihat dirimu yang duduk di kursi itu sambil membaca buku.

Bisa-bisanya. Aku tau aku bukan siapa dan apa-apa. Aku hanya aku, Zohrah Damira, gadis yang menyukai wajah tanpa senyummu 2 tahun lalu.

Aku menyukaimu. Berawal dari tatap yang tak berujung senyum. Berawal dari tatap yang tak berujung tegur sapa. Berawal dari tatap sesaat yang kemudian berpaling.
Lalu, harus kuapakan rasa ini? Atau bisakah aku terus menyimpannya?

Tuangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang