Rasa

45 3 0
                                    

Let's read.

.


Sasa, dia baru bangun jam sepuluh pagi di hari sabtu, karena sabtu adalah hari yang menyenangkan setelah hari minggu. Setelah kehabisan mimpi, Sasa langsung bangun dan bergegas ke kamar mandi. Yang pertama ia raih adalah sikat gigi dan odol. Serta air untuk mencuci muka, juga mencuci mulutnya.

Setelah Sasa selesai membersihkan sisa belek dan juga sisa jigong, dia beralih keluar dari kamar dan menemukan seorang laki-laki yang tengah berdiri di dekat pintu kamar Lintang, abang ketiga Sasa. 

"Bang," lelaki itu menoleh dan memandang Sasa. Dia tersenyum dan melambaikan tangan. 

"Bang Lintang!" teriak Sasa dengan penuh semangat. Dia berlari dan memeluk tubuh abangnya. Senyumnya tak henti, dan juga dia sangat senang.

"Mama ke mana, Dek?" tanya Lintang.

"Ke Lombok, Bang."

"Sama siapa?" tanya Lintang lagi menaruh ponselnya kesaku, dia membawa adiknya turun ke lantai satu dan duduk di atas kursi bar mini yang berada di dekat kolam renang. 

"Sama teman-temannya. Bang Lintang kok pulang? emang engga diomelin sama Ibu asrama?" tanya Sasa, Lintang mengambil air minum dan memberikan ke Sasa. 

"Minum dulu, kamu bau jigong." Katanya sambil nyengir, Sasa ikut nyengir dan mengambil airnya.

"Terima kasih, Bang."

"Sama-sama." Jawab Lintang yang kemudian duduk memandang Sasa. 

"Sekarang Abang dibolehin pulang hari sabtu dan minggu, tapi engga setiap saat juga," kata Lintang menjawab pertanyaan pertama Sasa. Sasa mengangguk kemudian menaruh gelas kosongnya di atas meja.

"Raina ke mana?" tanya Lintang yang beralih topik, Sasa langsung berwajah masam. 

Di manapun Raisa berada, pasti Raina adalah bahan perbincangan, Sasa menghela napas. 

"Dia sekolah."

"Lho kok sekolah?" Sasa langsung menepuk jidat, Sasa lupa kalau Lintang tidak tahu Raina sudah pindah sekolah. Maka, Sasa menjelaskan. 

"Kok bisa sih?" Tanya Lintang setelah mendengar penjelasan Sasa, laki-laki itu tidak percaya. Wajahnya juga terlihat bingung. 

"Ya, dia sendiri yang bilang sama Sasa. Tapi kalau ngobrol sama Mama, itu beda lagi. Jadi yang Mama tahu, Raina pindah dari sekolah Sasa karena katanya Sasa jahil sama dia, padahal Sasa engga pernah main sama dia."

"Tapikan kamu bisa ngomong kalau Raina itu salah, malah mentingin cowo yang engga jelas. Emang namanya siapa sih? Kok bisa buat Raina jadi tergila-gila gitu." Sasa menggeleng dan menghela napas.

Setiap hari, setiap detik, setiap kapanpun dan di manapun, Sasa hanya menjadi bahan mata-mata, dan untuk pertama kalinya, Sasa benci Raina.

Karena Raina sangat disayang.

"Bang," panggil Sasa sambil berdiri. 

Wajah Sasa sudah muram di pagi ini. 

Lintang menaikan alisnya. "Apa?" Sasa tersenyum, seolah dia habis mendapatkan sesuatu yang membanggakan. 

Nyatanya, Sasa hanya mendapatkan rempah sisaan, bukan sesuatu yang diutamakan.

"Kalau Sasa ngomong sama kalian itu sama aja. Sasa engga akan didengar. Sasa engga bisa jadi adik yang baik buat Abang, dan Sasa juga bukan Adik yang sempurna kaya Raina." Setelahnya Sasa berjalan menjauh dari kursi bar, Lintang berdiri. "Maksud kamu, apa?"

"Intinya, Sasa bukan Raina, Bang."

1

"Lagi?" suara Dita kembali terdengar, dia bingung ingin mengatakan apa. Namun sepertinya Sasa hanya diam menyandarkan kepalanya dibantal kesayangan Dita. 

Pagi ini, Sasa pergi.

Pagi ini Sasa tidak ingin diganggu. 

Sasa yakin, Sasa adalah adik teregois. Dia menginginkan bentuk perhatian dan kasih sayang yang seutuhnya, tanpa dibagi. 

"Main yuk, ke angkringan. Anak-anak ada di sana lagi kumpul." Ujar Dita menyentuh pundak Sasa. Sasa tetap diam, dia memandang pohon kaktus yang berada di atas jendela kamar Dita.

Tatapannya kosong, jatuh, melamun, dan memburam. Pikirannya mengarah pada satu sosok perempuan yang selalu dan sering menjahilinya setiap saat. 

Sasa baru merasakan kalau dia seperti di-keduakan oleh seluruh keluarganya. Sasa juga tahu, Raina itu sangat sempurna.

Dan, Sasa adalah sempurna yang tertunda.

"Sa, yuk kit...," Dita berhanti berucap saat tangan Sasa terulur. 

"Gue pingin sendiri, Dit." Kemudian Dita mengangguk paham. Dia menepuk bahu Sasa, "jangan lama-lama ya, gue kangen lo yang dulu." katanya.

Sasa hanya diam membawa pikirannya melayang.

"Gue keluar dulu ya," ucap Dita yang sekarang berjalan ke arah pintu, namun Sasa tetap saja tidak membalas perkataan Dita. Dia masih termenung, merasa sedih menjadi adik yang di keduakan. 

Memang, Sasa anak yang paling terakhir. Namun, bagaimanapun Sasa tetap ingin menjadi kesayangan mereka.

Sasa pikir jika dia pergi ke rumah Dita, ia akan mendapatkan kebahagiaan, tapi ternyata keterpurukan dan ingatan itu seolah terngiang di dalam kepalanya. 

Sasa tahu, Dita ingin menghiburnya, Sasa juga tahu kalau Dita itu sayang padanya. Begitu sangat sayang sampai apa yang Sasa suka dan Sasa benci itu, Dita tahu.

Terutama benci perempuan bernama Raina, Dita juga tahu. 

Yang Dita tidak tahu hanya satu, Sasa itu lemah. 

Dan Sasa sendiri mengakui dirinya sendiri lemah, walau Sasa tidak berkata jujur pada Dita. Dan juga, Dita sangat tahu kalau Sasa memang perlu waktu untuk sendiri. 

Dita juga begitu, dia butuh sendiri untuk menghadapi Dimas.

Karena sebenarnya Dita juga butuh sendiri, dan butuh untuk menenangkan hati.



Raisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Raisa.

.

To be continued.

NEVERAISA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang