Lord

62 5 0
                                    

Aku merasakan segalanya akan dimulai hari ini. Awal dari suatu akhir dari ras manusia. Ras yang seharusnya memuliakan bumi dan menjunjung tinggi Tuhan dalam segala hal. Ras yang seharusnya berjuang demi kehidupannya. Namun di zaman ini segalanya berbeda. Manusia mulai melakukan dan menciptakan hal-hal yang tidak baik. Bukan hanya tidak baik, namun sudah melebihi batas kodrat manusia.

Aku adalah seorang guru sejarah. Lahir di Tangerang pada tahun 2017. Ayahku adalah seorang kepala sekolah dan memiliki perusahaan IT yang cukup ternama ditahun 2020. Bundaku adalah pemimpin dari perusahaan IT ayah. Mereka mengembangkan teknologi-teknologi besar yang akhirnya banyak mengubah dunia. Hingga akhirnya, perusahaan Ayah dipimpin seorang ahli teknologi yang justru malah makin mengembangkan perusahaan. Karena ia berani untuk mengembangkan segala hal, segala sisi, bahkan hal dan sisi yang seharusnya tidak perlu disentuh teknologi, tapi ia berani melakukannya. Ya, siapa lagi orang itu kalau bukan Hendra Irawan. Seorang miliarder yang berani menginvestasikan banyak hartanya untuk dapat "menguasai" dunia dengan terobosan-terobosan ilmu pengetahuannya. Dan disinilah, awal era kepenguasaan manusia secara mutlak, dan awal era pemusnahan ras manusia.

Disaat aku remaja, aku mengerti satu hal tentang dunia. Bahwa dunia semakin tua. Sehingga perlu ditolong agar tetap hidup. Saat itu, ayahku tidak setuju dengan pemikiranku. Karena bagi ayah hidup adalah sementara. Jika kita bisa mati, dunia pun juga berhak untuk mati. Benar memang, namun jika masih bisa ditolong. Bagiku apapun akan aku lakukan untuk menolongnya.

Aku termasuk manusia yang ingin menolong bumi pada saat itu. Hingga aku putuskan hidup mandiri dan meninggalkan rumah. Meninggalkan orang tua ku dan adik ku, Libra.

Aku pergi ke America. Dimana perkembangan teknologi jauh lebih bebas disana. Aku mengikuti jejak om Hendra Irawan yang sangat pintar dalam membuat teknologi. Saat itu aku mengaguminya. Sungguh kagum dengannya. Akupun memutuskan untuk hijrah ke Amerika. Disana aku banyak belajar tentang sejarah teknologi dunia. Dan perkembangannya. Aku dekat dengan seorang jenius di Amerika. Namanya Professor Zavier. Tak ada yang tahu nama keluarganya. Dan iapun enggan membawa-bawa nama keluarga. Sedangkan aku selalu bangga membawa nama keluarga ku walaupun saat ini aku sedang tidak bangga dengan ayahku, Brata Budiman. Namaku adalah Taher Budiman. Gabungan dari Brata dan Herlina, bundaku. Dari namaku saja, aku diharapkan selalu ingat kepada kedua orang tua ku. Namun saat ini, aku ingin terbang bebas untuk menyelamatkan bumi.

Zavier mengajariku banyak hal. Tentang bagaimana smartphone yang menguasai kehidupan manusia, tentang bagaimana manusia yang lama kelamaan tak akan bisa hidup tanpa teknologi. Dan ia punya misi suci, yaitu mengubah manusia melalui gadgetnya sendiri. Dia banyak membuat aplikasi-aplikasi bermanfaat untuk manusia. Aku sangat terinspirasi olehnya. Visinya sama dengan ayah, namun Zavier jauh lebih hebat dan presisi ketimbang ayah. Salah satu kehebatan Zavier adalah membuat Earth Heart. EH adalah mesin yang mampu mengendalikan laju bumi. Membuat bumi lebih terkendalu dan mudah dimengerti. Dengan alatnya kita bisa tahu bagian mana yang akan menciptakan Tsunami, dan bisa dicegah agar tidak jadi Tsunami. Dengan alatnya, kita bisa tahu bagian mana yang akan meletus. Dan kita bisa menanggulanginya. Terbukti selama 3 tahun alatnya mampu membuat bumi menjadi lebih aman dan nyaman untuk manusia. Akupun turut membantu dan membuat alat itu. Ada suatu kejadian aneh ketika kami memasang alat itu di daerah lereng gunung Merapi yang saat itu hampir meletus lagi. Zavier berkata bahwa aku dan dia harus menjadi manusia yang lebih dari yang lain, agar kelak jika terjadi sesuatu, salah satu dari kita akan bisa bertindak cepat. Akupun setuju. Karena kita sama-sama ingin menjadikan bumi tempat yang lebih baik, dan menjaga ras manusia dari kepunahan.

Akhirnya, dilereng itu Zavier membawa suatu alat. Entah apa alat itu. Dia memasang di setiap sudut lereng. Dan dia membawaku ke bibir kawah Merapi. Dia mengoperasikan alat itu. Aku ingin bertanya, tapi Zavier selalu berpesan agar tidak pernah mempertanyakan apapun ketika dia ingin mengoperasikan alatnya. Jadi, aku diam saja.

Akhir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang