Tumpukan kertas, laptop yang menyala, coretan-coretan pada lembar berwarna putih berserakan di atas meja berwarna putih di depanku. Sesekali ponselku bergetar, pertanda ada panggilan masuk namun sedari tadi ku abaikan.
Kulihat jam di dinding, sudah hampir pukul sebelas rupanya. Pantas saja punggungku terasa pegal, hampir tiga jam berkutat dengan naskah yang entah kapan bisa ku selesaikan.
Aku mengikat rambut sebahuku menjadi ikatan kuncir kuda, mengancingkan cardigan berwarna biru muda lalu berjalan ke arah teras depan kamar. Night Gladiolus yang kutanam dalam pot kecil semakin wangi saat malam tiba.
Baru saja aku menyentuh bunga berwarna kuning itu saat lantai kayu dalam rumahku berderak pelan.
"Sudah hampir tengah malam, non."
Mbok Nah, wanita berusia hampir enam puluh tahun yang setia menemaniku hampir sepuluh tahun belakangan.
"Kalau mbok sudah ngantuk, tidur saja dulu. Saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan," kataku.
"Saya bikinkan teh hangat ya non, teh dan roti tawar dikasih blu* band."
Aku mengangguk. Saat mbok Nah menyebutkan salah satu merk mentega, tiba-tiba saja aku kembali teringat saat itu. Aku menelungkupkan kepala. Membiarkan semua cerita kembali ada.
_______________________
“Kawa...” panggilku. Dia menoleh.
Sejenak kemudian tetap sunyi. Aku tahu dia tidak akan pernah bertanya ada apa denganku. Dia selalu menunggu aku bercerita lebih dulu.Aku menelungkupkan wajahku pada tanganku sambil sesekali menghela nafas.
“Aku punya pertanyaan buat kamu, jawab ya.” katanya tiba-tiba. Aku menatapnya.
“Orang apa kalau dipukul gak sakit-sakit?” tanyanya.
Aku pura-pura mikir. Lalu sejurus kemudian mengangkat bahuku tanda tak tahu.
“Orang apa? Aku gak tau—nyerah.”jawabku.
“Orang nggak kena, yeee!” katanya sambil cekikikan.Aku setengah mati menahan agar tak tersenyum. Tapi dia belum menyerah juga.
“Satu lagi, jawab dong kamu tuh gak ada usaha sama sekali.” katanya mulai kesal.
Aku diam.
“Bulu, bulu apa yang warnanya kuning semua?”
“Bulu anak ayam." jawabku sekenanya.
“Salah. Udah jelas sekarang IQ kamu tiarap.”
“Aku lagi nggak pengen berantem, Kawa.”Dia cengengesan.
“Manyun terus sih, dipikir cantik apa kalau cemberut terus. Eh mau tau gak jawabannya tadi?”
Aku mengangguk.
“Bulu yang warnanya kuning semua adalah bulubend.”Krik.
“Nggak lucu, ya? Yah, padahal aku udah mikir keras lho buat pertanyaan tadi.”
Aku tetap diam. Dia kebingungan.
Biasanya Kawa selalu bisa membuat aku tersenyum dengan caranya.
Tapi aku harus berpura tak menyukainya.
Jangan membuatku merasa nyaman, Kawa.
Ada yang harus kusembunyikan darimu.
Perasaan takut kehilanganmu.***
Namanya Kawa. Laki-laki bertubuh tinggi.
Tinggi sekali. Kalau diukur mungkin hampir enam kaki.
Galak. Susah ditebak. Makannya juga banyak.
Kakinya panjang, jarinya besar-besar seperti pisang.
Tapi masih suka minum susu. Rasa vanila kesukaannya.
Kawa seperti bayi.
Bayi raksasa.Dan dia mengajakku berjalan kaki tak tentu arah sedari tadi.
Aku mengikutinya dari belakang sambil sesekali menghela nafas dan menundukkan kepala. Aku sedang kesal hari ini.Tiba-tiba kepalaku membentur sesuatu. Punggungnya.
"Bisa tidak kalau jalan jangan berhenti mendadak!" seruku.
"Heh, makanya kalau jalan lihat depan, jangan menunduk terus! Mau cari apa? Cari recehan?" sahutnya, seperti tidak bersalah.Aku hanya mengangkat bahu. Sungguh aku sedang tidak ingin berdebat hari ini. Percuma berdebat dengannya, ia selalu saja punya alasan dan aku tidak akan menang.
"Sini." katanya sambil menarik tanganku mengikutinya. Lagi-lagi aku hanya bisa menurut saja.
Kedai es krim.
"Ngapain kesini?" tanyaku. Dia malah melotot.
"Jajan cilok! Pertanyaan bodoh, beli es krim lah. Masih nanya." katanya galak, seperti biasanya.
"Kamu itu bodoh apa gimana sih? Aku nggak suka es krim. Mual."
"Aku tau, kamu itu nggak suka coklat, nggak suka es krim, nggak suka durian, nggak suka alpukat, nggak suka semua yang enak-enak yang orang normal suka."
"Itu tau, terus kenapa kamu bawa aku kesini?"Dia tak menjawab, tapi tangannya tetap memegang pergelangan tanganku. Kemudian menarik satu kursi berwarna kuning, mempersilakan aku duduk.
"Udah, jangan cemberut terus, kalau kamu cemberut terus apa kesalnya hilang? Nggak kan?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke arahku.
Sementara aku sibuk memainkan sedotan pada minuman yang dia pesan. Segelas milo dingin. Rupanya dia masih saja hafal dengan kesukaanku.
Es krim pesanannya datang, bukan rasa coklat kali ini. Bukan pula rasa durian atau alpukat seperti yang kubenci.
"Dimakan, ini bentuknya seperti spaghetti. Kamu kan suka sekali sama mie. Rasanya juga asam, kamu kan suka sekali buah yang asam. Seperti mukamu juga sekarang asam dilihatnya. Aku suka kamu yang tertawa."
Aku melihatnya, sibuk menuangkan beberapa scoop es krim dari pinggan besar ke pinggan kecil milikku.
"Aku mau lihat kamu selalu senyum, kalau ada apa-apa cerita sama aku. Aku akan selalu ada buat kamu." kali ini dia bawel sekali.
"Kamu kenapa baik sama aku?" tanyaku.Dia malah melotot lagi.
“Gak usah banyak tanya, makan aja. Dasar manja!" katamu sambil membetulkan taplak meja yang sama sekali tak berantakan.
"Dasar ceroboh, makan es krim saja berantakan. Mulutmu belepotan." katanya sambil menyeka sudut bibirku dengan kertas tissue.
"Makasih," kataku sambil senyum-senyum.
"Apa? Nggak usah geer, aku cuma risih lihat ada orang dewasa tapi makan es krim saja masih seperti bocah berusia lima."
Mukamu merah. Benar katamu, kamu itu sebenarnya gampang malu.