Bagian Ketiga

6.9K 665 75
                                    

Aku beringsut membenarkan posisi dudukku. Rasanya nyaman sekali menyandarkan punggung pada kursi rotan yang ku duduki. Cangkir berisi teh yang sedari tadi kupegang sudah hampir menjadi dingin sepenuhnya.

***

"Kawa..."
Tanpa sadar aku menyebut namanya.

"Kawa, kamu tau skywatcher?" aku bertanya padanya saat tiba-tiba saja di kepalaku melintas kata Skywatcher.

Tapi Kawa menggeleng cepat. Menyebalkan. Padahal buatku dia itu pintar, seperti perpustakaan.
Aku memutar bola mataku sambil mencibirnya.

"Ternyata gak pintar-pintar amat..." gumamku pelan.
"Aku dengar."
Ternyata Kawa mendengarnya. Hahaha biarin aja.

"Kita nanti cari rooftop, ya... sambil lihat senja!" katanya
"Nanti kita naik ke rooftop, ada satu bangunan di tengah kota, di sana rooftopnya datar; ada seperti bazaar, banyak makanan, nanti kita beli teh kotak, yang kardus itu, nanti digunting atasnya. Sama biskuit Roma"

Kawa bercerita dengan semangat. Matanya berbinar.

"Buat apa digunting atasnya?" tanyaku.
"Buat kamu celupin biskuitnya, atau kamu lebih suka makan biskuitnya lebih dulu lalu tehnya disedot gitu aja biar jadi satu di mulut?"

Kawa, kamu selalu sedetail itu.

"Tapi aku tetap pilih Oreo sama susu," Kawa melanjutkan.

"Atau begini saja, kita bawa termos portable, yang kecil itu, yang 500 ml biar gak repot kalau sewaktu-waktu ingin buat yang hangat, asal jangan bawa tupperware."

"Kenapa?"

"Kalau hilang, bahaya," jawab Kawa.

Aku tergelak.

Kamu terus saja bercerita, tapi tak apa, aku suka, aku selalu suka.
Pada apa-apa saja yang akan kamu tunjukkan, aku selalu bersemangat menantikan.

Dan kamu selalu bisa membuat aku jatuh cinta lagi,
cinta yang tak akan cukup sekali.
Kawa, aku ingin seperti ini, setiap hari.

Ingatanku melesat jauh kepada waktu beberapa tahun lalu.

***

Sudah cukup lama aku mengenal Ambara, sebetulnya ada cerita unik ketika kami pertama berjumpa. Semasa sekolah dasar, aku suka sekali memanjat pohon minyak kayu putih di depan rumah kosong itu. Daun-daunnya sering kupetik dan aku remas kemudian aku hirup aromanya dalam-dalam. Wangi seperti minyak kayu putih tapi versi lebih segar.

Dari dulu memang aku tak pernah betah terlalu lama berada di rumah, pohon kayu putih dan pohon keres di ujung jalan sana adalah tongkrongan favoritku sejak lama.

Sampai akhirnya ada satu keluarga pindah, mengisi rumah kosong tempat pohon kesukaanku tumbuh di halamannya. Mereka hanya punya satu anak perempuan, seusiaku, tapi badannya kecil sekali. Mungkin versi anak populer atau kesayangan Sinterklas, berbeda sekali denganku yang bandel dan hobi tidur di kelas.

Hidupku masih berjalan biasa-biasa saja, sampai akhirnya kesialanku bertambah. Pohon keres di ujung jalan roboh, tak sengaja tertabrak mobil yang dikemudikan seorang remaja lepas kendali. Tidak ada lagi buah keres manis yang bisa aku nikmati, kemanisan dalam hidupku berkurang satu lagi. Hanya pohon minyak kayu putih yang tersisa sebagai tempatku bersembunyi.

Aku masih cuek saja menciumi aroma daun di atas sebuah dahan meskipun aku tahu anak perempuan baru itu sedari tadi memperhatikanku. Lama-lama aku risih juga, aku menunduk dan memelototinya. Anak itu malah tersenyum dan menyapa

"Hei, kamu lagi apa?" teriaknya.

Aku diam, pura-pura tidak mendengar.

Ternyata dia melempariku dengan biskuit yang dia bawa, berani mengancam

"Turun gak! Mau aku siram teh sekalian?!"

Dengan sigap aku mengambil segenggam daun, meremas-remasnya. Kemudian secepat kilat aku turun dan menangkupkan tanganku yang penuh daun ke wajah anak perempuan itu. Ia terjengkang jatuh, dan aku sudah berlari jauh.

Ambara & KawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang